Semangat umat menjadi semakin berkobar setelah mendengar seruan resolusi jihad yang difatwakan Nahdlatul Ulama.
Momentum proklamasi kemerdekaan RI adalah saat-saat amat bersejarah yang harus disyukuri oleh segenap bangsa Indonesia. Setelah pengorbanan dan perjuangan para pahlawan, tibalah jua puncak titian harapan bangsa.
Kita, yang hidup di zaman sekarang, adalah generasi yang beruntung bisa menikmati kemerdekaan tanpa harus turut serta meneteskan darah, air mata, serta keringat untuk merebutnya dari tangan penjajah. Namun bukan berarti kita tak mengemban tugas apa pun. Tugas kita adalah mengisi alam kemerdekaan dengan berbagai hal positif dan konstruktif.
Satu hal yang perlu diingat, proklamasi kemerdekaan RI diperoleh bukan saat perut-perut pahlawan kita itu terasa kenyang. Sebab proklamasi kemerdekaan itu terjadi pada bulan ketika seorang muslim harus menahan haus dan lapar, yaitu di bulan Ramadhan. Dan tahun ini, yang untuk kesekian kalinya peringatan kemerdekaan bertepatan dengan puasa, diharapkan, semangat kebangsaan masyarakat, khususnya umat Islam Indonesia, untuk ikut bersama-sama membangun Indonesia, menjadi lebih baik.
Di zaman Nabi, sejumlah perang juga dimenangkan justru saat bulan Ramadhan. Demikian juga perjuangan bangsa kita. Dalam catatan sejarah pergerakan, proklamasi kemerdekaan RI pada tahun 1945 jatuh pada hari kesembilan bulan Ramadhan. Artinya Ramadhan juga bulan perjuangan, tidak hanya untuk pribadi muslimin, tapi juga untuk kehidupan warga negara. Subhanallah, sungguh luar biasa hikmah bulan Ramadhan bagi bangsa Indonesia ini.
Berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak bisa dilepaskan dari peran para pejuang muslim, atau lebih tepatnya kaum santri. Yang menarik, berdasarkan laporan pemerintah Belanda sendiri, peristiwa perlawanan sosial politik terhadap penguasa kolonial dipelopori oleh para kiai, sebagai pemuka agama, para haji, dan guru-guru ngaji.
Semangat perlawanan terhadap penjajah terus bergulir dari satu daerah ke daerah lain di seluruh wilayah Nusantara. Peran serta umat Islam dalam perjuangan melawan dan mengusir penjajahan ini terekam dalam torehan tinta emas sejarah. Perjuangan itu pun tak berhenti sampai republik ini merdeka, tapi terus hidup berlanjut saat mempertahankan kedaulatan RI dari rongrongan kaum penjajah.
Satu hal penting yang perlu diingat, negeri ini lahir atas buah karya keikhlasan para mujahid pejuang kemerdekaan atas berkat rahmat Allah SWT. Sebagaimana tercantum dengan tegas dalam Pembukaan UUD 1945 “Atas berkat rahmat Allah SWT….” Karena, jika tidak atas berkat rahmat Allah SWT, tidaklah mungkin bambu runcing dapat menang melawan senjata-senjata modern pasukan asing.
Era Penjajahan Belanda: “Pendeta Islam”
Ketika imperialisme dan kolonialisme menjajah Indonesia, penduduk negeri ini tidak tinggal diam, dan terus-menerus mengadakan perlawanan. Umat Islam, sebagai mayoritas penduduk Nusantara, memiliki peran penting di dalam proses yang panjang dalam perjuangan melawan penjajahan. Perlawanan awal dilakukan oleh kerajaan-kerajaan, dan kemudian disambung dengan perlawanan rakyat semesta yang dipimpin oleh para ulama hampir di seluruh wilayah Indonesia.
Ulama, sebagai informal leader yang merakyat, dekat dengan rakyat, ditampilkan oleh umat Islam sebagai pemimpinnya dalam perang melawan penjajahan. Selain itu, semangat perang sabil sebagai penggerak umat untuk berani melawan penjajah yang zhalim juga menjadi salah satu faktor gencarnya perlawanan rakyat.
Setidaknya ada enam jasa utama yang telah diberikan para ulama untuk perjuangan kemerdekaan.
Pertama, menyadarkan rakyat akan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan penjajah. Di berbagai pesantren, madrasah, ceramah, organisasi, dan pertemuan lainnya, para ulama menanamkan kesadaran di hati rakyat akan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan penjajah.
Pengaruh para ulama, yang disebut ”pendeta Islam”, diakui oleh penjajah. Thomas S. Raffles, letnan gubernur EIC, yang memerintah tahun 1811-1816 di Indonesia, berkata, “Karena mereka begitu dihormati, tidak sulit bagi mereka untuk menghasut rakyat agar memberontak, dan mereka menjadi alat paling berbahaya di tangan penguasa pribumi yang menentang kepentingan pemerintah kolonial. ‘Pendeta Islam’ itu ternyata adalah golongan yang paling aktif dalam setiap peristiwa pemberontakan. Mereka umumnya berdarah campuran antara orang Arab dan penduduk pribumi, dalam jumlah besar berkeliling dari negara satu ke negara lain, di pulau-pulau Timur. Akibat intrik dan hasutan mereka, pemimpin pribumi biasanya dikerahkan untuk menyerang atau membunuh orang Eropa, yang mereka anggap sebagai kafir dan pengacau.”
Kedua, memimpin gerakan non-kooperatif kepada penjajah Belanda. Para ulama di masa penjajahan banyak mendirikan pesantren di daerah-daerah terpencil, untuk menjauhi bangsa penjajah, yang banyak tinggal di kota.
Ketika Belanda, di masa revolusi, mempropagandakan pelayanan perjalanan haji dengan ongkos dan fasilitas yang dapat dijangkau oleh kaum muslim di daerah jajahannya, Hadratusy Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari, pemimpin para ulama di Jawa, menentang. Ia mengeluarkan fatwa bahwa pergi haji dalam masa revolusi dengan menggunakan kapal Belanda, hukumnya haram.
Ketika posisi Belanda sulit dalam Perang Dunia II, mereka meminta orang-orang Indonesia masuk militer Belanda dengan dalih untuk mempertahankan Indonesia melawan musuh, Jepang. Waktu itu Kiai Hasyim mengeluarkan fatwa yang terkenal, yaitu mengharamkan masuk menjadi tentara Belanda atau bekerja sama dengan Belanda dalam bentuk apa pun.
Setiap bujukan agar Kiai Hasyim tunduk dan mendukung Belanda selalu gagal. Bahkan tawaran Belanda yang akan menganugerahkan bintang jasa terbuat dari perak dan emas pada 1937 ditolaknya.
Gerakan non-kooperatif kepada penjajah itu juga dilakukan dan dipimpin oleh ulama-ulama lainnya.
Ketiga, mengeluarkan fatwa wajibnya jihad melawan penjajah. Fatwa jihad ini sangat besar pengaruhnya dalam membangkitkan semangat perlawanan. Perang melawan penjajah dianggap jihad fi sabîlillah, yakni perang suci atau perang sabil demi agama.
Ajaran perang suci ini muncul di Aceh paling awal abad ke-17, dibangkitkan oleh para guru agama pada masa krisis, yang terhebat pada akhir abad ke-19. Salah satu guru agama di tengah medan perang, Syaikh Abbas Ibnu Muhammad, mengatakan dalam Tadzkirat ar-Rakidin (ajaran utama tahun 1889) bahwa Aceh adalah Dar-al-Islam, kecuali daerah yang diperintah Belanda dan menjadi Dar-al-Harb. Jihad merupakan kewajiban moral (fardu ain) orang Islam berperang untuk mengembalikan tanah yang dikuasai orang kafir kepada Dar-al-Islam.
Perang Diponegoro atau Perang Jawa, yang berkobar lima tahun (1825-1830), juga karena alasan serupa. Dalam permintaan dukungannya kepada ulama, bangsawan, dan masyarakat Jawa, Pangeran Diponegoro (pangeran yang juga ulama) menekankan bahwa ia adalah pemimpin perang sabil, perang suci, untuk mengusir Belanda, yang tidak beriman, dari tanah Jawa. Ia menyurati ulama dan pemimpin di Jawa Tengah dan Jawa Timur, mengimbau mereka “untuk ikut melawan Belanda di seluruh daerah untuk mengembalikan kedudukan tinggi kerajaan berdasar agama yang benar (ngluhurke agami Islam)”. Dalam menyebarkan fatwa jihad itu, Diponegoro dibantu oleh Kiai Mojo, Kiai Besari, dan ulama-ulama lainnya.
Era Penjajahan Jepang: Daidancho Kiai
Tujuan dibentuknya Tentara Sukarela PETA oleh pemerintah pendudukan Jepang, selain berkewajiban mempertahankan wilayah teritorial, di Jawa dan Bali, juga disiapkan untuk melawan Sekutu. Oleh sebab itu, Tentara Sukarela PETA dilatih langsung oleh tentara Jepang dan berada di bawah langsung komando Panglima Tentara Jepang.
Jepang paham bahwa usaha memobilisasi massa guna menghadapi kekuatan Sekutu membutuhkan kekuatan massa sekaligus keberanian moral dalam suasana perang. Itu sebabnya, dibutuhkan pemimpin-pemimpin yang telah memiliki akar di tengah rakyat serta memiliki pengaruh ajaran agama yang diyakini. Perang butuh orang-orang yang memiliki keberanian dan jiwa rela berkorban. Dan berdasar catatan arsip kolonial yang dimiliki Belanda, Jepang mengetahui bahwa rakyat Indonesia yang memenuhi syarat untuk berperang adalah umat Islam, sebagaimana data kolonial arsip yang menyebutkan bahwa antara tahun 1800 hingga 1900 (100 tahun) telah terjadi usaha-usaha pemberontakan terhadap pemerintah kolonial Belanda yang dilakukan rakyat di bawah pimpinan tokoh-tokoh tarekat sebanyak 112 kali.
Atas dasar alasan itu, dalam rekrutmen anggota Tentara Sukarela PETA, para kiai, ulama, guru agama Islam diberi kesempatan untuk menjadi pemimpin PETA dengan diangkat menjadi daidancho. Selain itu, yang juga bisa diangkat menjadi daindancho adalah pamong praja setingkat wedana, asisten wedana, jaksa, pemimpin partai. Untuk pangkat chudancho, diangkat dari kalangan pegawai negeri, guru sekolah. Sedang untuk shodancho dipilih siswa-siswa sekolah menengah atas.
Dengan kebijakan pemerintah pendudukan Jepang seperti itu dalam rekrutmen Tentara Sukarela PETA, sebagian di antara komandan batalyon PETA yang terpilih dengan pangkat daidancho (mayor) itu adalah para kiai dari komunitas pesantren, yang memiliki latar pendidikan pesantren. Keberadaan para kiai tersebut terlihat saat latihan pertama Tentara Sukarela PETA yang dimulai pada 5 Oktober 1943, terdapat sejumlah nama komandan batalyon dan kepala staf batalyon yang berpredikat ”kiai”.
Akibat cukup banyak kiai yang menjabat komandan batalyon, surat kabar Asia Raya 22 Januari 1944 mempertanyakan sebutan yang pas untuk mereka “Apa para kiai cukup disebut daidancho atau ada tambahan daidancho kiai?”
Peristiwa pembentukan Tentara Sukarela PETA ini adalah babak baru dari sejarah umat Islam dalam bidang kemiliteran. Jika sebelumnya dalam berbagai perlawanan bersenjata terhadap pemerintah kolonial Belanda selalu dilakukan peperangan dengan teknik-teknik tempur tradisional, melalui Tentara Sukarela PETA ini umat Islam memasuki babak baru sejarah perang modern dengan dilatih langsung oleh tentara-tentara profesional Jepang yang sejak tahun 1905 sudah berhasil menunjukkan kehebatannya dengan menghancurkan armada Rusia dalam pertempuran di Teluk Tchusima dan pada Maret 1942 menghancurkan kekuatan Belanda dalam pertempuran di Laut Jawa.
Setahun kemudian, tepatnya pada 14 Oktober 1944, pemerintah pendudukan Jepang membentuk Hizbullah di Jakarta. Hizbullah secara khusus beranggotakan pemuda-pemuda Islam se-Jawa dan Madura. Pada latihan pertama di Cibarusa, Bogor, yang diikuti 500 orang pemuda muslim, tercatat sejumlah nama kiai dari pondok pesantren, seperti K.H. Mustofa Kamil (Banten), K. Mawardi (Solo), K. Zarkasi (Ponorogo), K. Mursyid (Pacitan), K. Syahid (Kediri), K. Abdul Halim (Majalengka), K. Thohir Dasuki (Surakarta), K. Roji’un (Jakarta), K. Munasir Ali (Mojokerto), K. Abdullah, K. Wahib Wahab (Jombang), K. Hasyim Latif (Surabaya), K. Zainuddin (Besuki), Sulthan Fajar (Jember), dan lain-lain.
Fenomena militerisasi di lingkungan umat Islam tradisional di pesantren tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan organisasi yang didirikan orang-orang berlatar pendidikan pesantren.
Jauh sebelum organisasi Nahdlatul Ulama diproklamasikan pada tahun 1926, telah lahir lebih dulu organisasi kepemudaan Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Organisasi yang didirikan K.H. Wahab Hasbullah dan K.H. Mas Mansyur itu bergerak di bidang sosial, pendidikan, dan dakwah. Tahun 1918, K.H. Wahab Hasbullah, K.H. Mas Mansyur, H.O.S. Tjokroaminoto, K.H. A. Dahlan Ahyad, dan P. Mangun membentuk organisasi Taswirul Afkar. Organisasi ini bagian dari perkumpulan Suryo Sumirat dan sejak didirikan 1918 papan nama Taswirul Afkar ditulis “Suryo Soemirat Afdeeling Taswirul Afkar.”
Itu sebabnya, latihan militer yang berat di PETA maupun Hizbullah bukanlah sesuatu yang asing bagi para kiai yang berasal dari kalangan pesantren, apalagi mereka disemangati oleh cerita-cerita perlawanan para ulama pendahulu mereka yang tidak mau tunduk kepada pemerintah kolonial Belanda.
Ketika Jepang terdesak hebat dalam perang di Pasifik, dibentuklah pusat-pusat latihan militer yang salah satunya adalah di Besuki. Berdasar Keputusan Bersama antara penguasa militer Jepang di Besuki (Besuki Syu), Majelis Syuro Muslimin Indonesia, yang diketuai K.H. Mursyid, Yogeki Shodancho Wahyudi, dan pemimpin Hizbullah yang baru lulus dari Cibarusa, Bogor, diselenggarakan pendidikan dan latihan bagi bintara selama satu bulan dengan pusat latihan di Desa Awu-awu, Kecamatan Temuguru, Kabupaten Banyuwangi. Latihan yang diikuti oleh seluruh bintara PETA dan Hizbullah se-Karesidenan Besuki itu dimulai pada 20 Juni 1945 dan berakhir pada 21 Juli 1945.
Susunan organisasi pelatihan itu adalah Mayor Fukai dan Kobayashi dari Komando Militer (Butai) sebagai pemimpin, K.H. Mursyid sebagai penasihat, Yogeki Shodancho Wahyudi sebagai instruktur (taicho), Sulthan Fajar (komandan korp Hizbullah Karesidenan Besuki) sebagai asisten instruktur (fuku taicho), dan 23 perwira Hizbullah lulusan Cibarusa, Bogor, sebagai komandan latihan peleton (sidokan). Sedangkan ketua panitia penyelenggara adalah Nuruddin, anggota Syu Sangikai (DPRD) Besuki.
Berbekal pengetahuan militer modern yang diperoleh dari pendidikan di PETA dan Hizbullah, para kiai dan pemuda Islam di daerahnya masing-masing kemudian membentuk satuan-satuan paramiliter.
Keberadaan Tentara Sukarela PETA dan Hizbullah menjadi penting karena saat proklamasi kemerdekaan dikumandangkan pada 17 Agustus 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibentuk tanggal 18 Agustus 1945, sampai awal Oktober belum memiliki tentara. Dan setelah dikritik oleh Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo dibentuklah Badan Keamanan Rakyat (BKR). Maka berbondong-bondonglah masyarakat mendaftarkan diri. Namun yang berkompeten memiliki kemampuan militer yang terlatih adalah elemen Tentara Sukarela PETA dan Hizbullah, ditambah mantan anggota Heiho (orang Indonesia yang menjadi tentara reguler Jepang) dan mantan KNIL (Koninklijk Nederlands Indische Leger — pribumi yang masuk dalam Angkatan Darat Hindia Belanda). Itu sebabnya, elemen-elemen terlatih itu menduduki posisi penting di BKR.
Sejak awal dibentuknya BKR sampai berkembang menjadi TKR, TRI, dan TNI, para kiai dan tokoh-tokoh pesantren yang terdidik di kesatuan PETA dan Hizbullah dan Sabilillah memiliki peran penting dalam pembentukan barisan-barisan dalam kemiliteran setingkat batalyon. Dalam sejarah pembentukan TNI, mereka yang tercatat sebagai komandan batalyon yang berasal dari kesatuan PETA, Hizbullah, dan Sabilillah dewasa itu adalah Kiai Choliq Hasjim, Kiai Amien Djakfar, Kiai Abdoel Chamid, Kiai Iskandar Idris, Kiai Joenoes Anis, Kiai Basoeni, Kiai Doerjatman, Kiai Abdoellah bin Noeh, Kiai Ternaya, Kiai Idris, K.R.M. Moeljadi Djojomartono, Kiai Sjam’oen, Kiai Iskandar Sulaiman, Kiai Zarkasi, Kiai Mursyid, Kiai Syahid, Kiai Abdullah, Kiai Zainudin, Kiai Masjkoer, Kiai Bisri Sjansoeri, Kiai Zainal Arifin, Kiai Sulam Sjamsun, Kiai Moenasir Ali, Kiai Wahib Wahab, Kiai Jasin, Kiai Mansjoer Sholichy, Kiai Achjat Chalimi, Kiai Hasjim Latif, Kiai Anwar Zen, Kiai Hasan Sjaifoerrizal, Kiai Zaini Moen’im, Kiai Djoenaidi, Kiai Asnawi Hadisiswoyo, K.R. Salimoelhadi, Kiai Bolkin, Kiai Abdoellah Abbas, Kiai Mahfoedz, K.P. Hadisoenarto, Kiai Abdoel Moeslim, Kiai Moeslim, Kiai Dimjati Moeid, Kiai Moeslich, Kiai Ridwan, Kiai Imam Nawawi, Kiai Zaeni, Kiai Soedjak, Kiai Asfani, Kiai Abdoel Syoekoer, Kiai Djarkasi, Kiai Ma’roef, Kiai Siradj, Kiai Abdoerrachman, Kiai Martowikoro, serta tokoh-tokoh Ansor, seperti Sulthan Fajar, Hamid Rusdi, Zein Thoyyib.
Bertolak dari paparan singkat sejarah pembentukan Tentara Sukarela PETA dan Hizbullah, yang berperang penting dalam pembentukan TNI, menjadi sangat wajar jika kalangan pesantren memiliki hubungan historis yang sangat kuat dengan TNI dan NKRI.
Itu sebabnya, ketika negara Indonesia menghadapi ancaman, baik ancaman teritorial maupun ideologis, kalangan pesantren secara refleks akan terpanggil. Sebab tanpa perlu pengakuan formal sejarah pun, kalangan pesantren memiliki kewajiban moral untuk melindungi dan membela negara Indonesia, karena mereka ikut membidani lahirnya negara Indonesia.
Mempertahankan Kedaulatan RI
Memang, menyinggung perang di Surabaya tidak lepas dari sosok Bung Tomo, yang baru tahun kemarin “resmi” diangkat sebagai pahlawan. Dialah orator ulung yang menggerakkan rakyat Surabaya untuk menghadang Sekutu. Pagi hari menjelang penyerbuan Inggris, Bung Tomo mengobarkan semangat perlawanan rakyat lewat corong radio.
“Bismillahirrahmanirrahim…. Dan kita yakin, Saudara-saudara, pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita. Sebab, Allah selalu berada di pihak yang benar. Percayalah, Saudara-saudara, Tuhan akan melindungi kita sekalian. Allahu Akbar..! Allahu Akbar..! Allahu Akbar…! Merdeka!”
Kalimat basmalah sebelum pidato serta takbir menjelang penutupan pidato tersebut tentu menarik untuk dicermati. Sebab, menilik latar belakangnya, Bung Tomo hampir tidak pernah menjalani aktivitas yang erat kaitannya dengan dunia santri.
Sejak lahir pada 3 Oktober 1920 hingga perang itu pecah, ia lebih banyak bersentuhan dengan kalangan nonsantri. Jika Surabaya ketika itu punya dua “area” santri (Ampel dan Plampitan), Bung Tomo pun bukan “alumnus” kedua-duanya.
Pertanyaannya, kenapa Bung Tomo begitu fasih memekikkan takbir untuk menggugah perlawanan?
Jawabannya, Bung Tomo memiliki kedekatan dengan para ulama. Tapi jawaban tersebut kurang memuaskan, karena pada zaman itu setiap ideologi bisa berdialog tanpa harus kehilangan identitas. Misi merebut dan mempertahankan kemerdekaan berhasil mendekatkan jarak antar-ideologi. Meskipun, dalam babak Indonesia selanjutnya, “pertarungan” itu cukup keras.
Disertasi William H. Frederick, In Memoriam: Sutomo, tampaknya menjadi benang merah untuk menjawab misteri takbir Bung Tomo. Buku yang diterjemahkan dengan judul Bung Tomo: Pandangan dan Gejolak (1979) itu menyebutkan, pekik takbir dilakukan setelah melalui perhitungan psikologis yang cukup matang. Takbir digunakan untuk menarik perhatian umat Islam yang berada di Surabaya tetapi belum terjaring dalam perlawanan. Artinya, Bung Tomo, sepertinya, sangat tahu bahwa pejuang yang terjun di lapangan adalah kalangan santri, yang sebagian besar datang dari luar kota.
Faktanya, pidato menggelora Bung Tomo membuat semangat heroisme para pejuang di lapangan semakin mantap. Sebab, dalam tradisi Islam, penggunaan takbir untuk mempertahankan tanah air sama halnya dengan panggilan perang suci. Pidato Bung Tomo seakan menjadi sangkakala dimulainya sebuah pertempuran. Meski bersenjata seadanya, rakyat dengan gagah berani berhadapan langsung melawan tentara Inggris, yang akan menyelundupkan tentara Belanda. Perang face-to-faceitulah yang membedakan Surabaya dengan daerah lain, yang dengan taktik gerilya.
Benang merah keterkaitan itu semakin terlihat dengan terkuaknya fakta bahwa resolusi jihad yang difatwakan Nahdlatul Ulama (NU) dikeluarkan 18 hari sebelumnya. K.H. Hasyim Asy’ari memerintah K.H. Wahab Hasbullah dan K.H. Bisri Syansuri mengadakan rapat dengan kiai se-Jawa dan Madura di Kantor PB Ansor NU, Jalan Bubutan VI/2, 22 Oktober 1945. Pada 23 Oktober 1945, atas nama Pengurus Besar NU, Kiai Hasyim mendeklarasikan jihad fi sabilillah. Fatwa itulah yang kemudian disahkan dalam Muktamar Ke-16 NU di Purwokerto pada 26-29 Maret 1946.
Lima butir resolusi jihad itu adalah, pertama, kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan. Kedua, RI, sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah, harus dijaga dan ditolong. Ketiga, musuh RI ialah Belanda, yang kembali ke Indonesia dengan bantuan tentara Sekutu. Keempat, umat Islam harus mengangkat senjata melawan Belanda dan tentara Sekutu yang ingin menjajah Indonesia kembali. Dan kelima, perang suci wajib bagi setiap muslim yang tinggal dalam radius 94 kilometer, bantuan material bagi yang berada di luar radius tersebut.
Resolusi jihad mampu menyulap berbagai pesantren dari tempat pendidikan menjadi markas laskar Sabilillah dan Hizbullah untuk diberangkatkan ke Surabaya. Di antara alumnus dua laskar yang termasyhur ikut bertempur di Surabaya adalah K.H. Munasir Ali, K.H. Yusuf Hasyim, K.H. Baidowi, K.H. Mukhlas Rowi, K.H. Sulanam Samsun, K.H. Amien, K.H. Anshory, dan K.H. Adnan Nur.
Namun, panggilan hati sebagai penjaga umat membuat para kiai itu tidak melanjutkan karier militernya secara maksimal setelah revolusi fisik. Mereka pun kembali mengasuh pesantren. Bahkan, menyingkir dari arena politik sama sekali.
Untuk kondisi sekarang, peran mereka yang begitu heroik mungkin sudah “dilupakan” generasi kontemporer. Sebab, kiprah mereka memang tidak terdokumentasi dalam buku sejarah, lebih-lebih buku-buku pelajaran di sekolah. Namun, pekik takbir Bung Tomo, yang laris diputar setiap 10 November, sesungguhnya merupakan bukti nyata betapa para ulama bertaruh nyawa mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.