Perjuangan Ulama-Santri demi Tegak dan Teguhnya NKRI : Menyambut Panggilan Resolusi - ISLAM NKRI
Headlines News :

Text Widget

AswajaNU
//
Home » , , » Perjuangan Ulama-Santri demi Tegak dan Teguhnya NKRI : Menyambut Panggilan Resolusi

Perjuangan Ulama-Santri demi Tegak dan Teguhnya NKRI : Menyambut Panggilan Resolusi

Written By Unknown on Sabtu, 14 September 2013 | 23.02



Semangat umat menjadi semakin berkobar setelah mendengar seruan resolusi jihad yang difatwakan Nahdlatul Ulama.
Momentum proklamasi  kemerdekaan RI adalah saat-saat amat bersejarah yang harus disyukuri oleh segenap bangsa Indone­sia. Setelah pengorbanan dan perjuang­an para pahlawan, tibalah jua puncak titian harapan bangsa.
Kita, yang hidup di zaman sekarang, ada­lah generasi yang beruntung bisa me­nikmati kemerdekaan tanpa harus turut serta meneteskan darah, air mata, serta keringat untuk merebutnya dari tangan pen­jajah. Namun bukan berarti kita tak mengemban tugas apa pun. Tugas kita adalah mengisi alam kemer­de­kaan de­ngan berbagai hal positif dan konstruktif.
Satu hal yang perlu diingat, prokla­masi kemerdekaan RI diperoleh bukan saat perut-perut pahlawan kita itu terasa kenyang. Sebab proklamasi kemerdeka­an itu terjadi pada bulan ketika seorang muslim harus menahan haus dan lapar, yaitu di bulan Ramadhan. Dan tahun ini, yang untuk kesekian kalinya peringatan kemerdekaan bertepatan dengan puasa, diharapkan, semangat kebangsaan ma­syarakat, khususnya umat Islam Indone­sia, untuk ikut bersama-sama memba­ngun Indonesia, menjadi lebih baik.
Di zaman Nabi, sejumlah perang juga dimenangkan justru saat bulan Rama­dhan. Demikian juga perjuangan bangsa kita. Dalam catatan sejarah pergerakan, proklamasi kemerdekaan RI pada tahun 1945 jatuh pada hari kesembilan bulan Ramadhan. Artinya Ramadhan juga bu­lan perjuangan, tidak hanya untuk pribadi muslimin, tapi juga untuk kehidupan war­ga negara. Subhanallah, sungguh luar biasa hikmah bulan Ramadhan bagi bang­sa Indonesia ini.
Berdirinya Negara Kesatuan Repub­lik Indonesia (NKRI) tidak bisa dilepas­kan dari peran para pejuang muslim, atau lebih tepatnya kaum santri. Yang me­narik, berdasarkan laporan pemerin­tah Belanda sendiri, peristiwa perlawan­an sosial politik terhadap penguasa kolo­nial dipelopori oleh para kiai, sebagai pe­muka agama, para haji, dan guru-guru ngaji.
Semangat perlawanan terhadap pen­jajah terus bergulir dari satu daerah ke daerah lain di seluruh wilayah Nusan­tara. Peran serta umat Islam dalam per­juangan melawan dan mengusir penja­jahan ini terekam dalam torehan tinta emas sejarah. Perjuangan itu pun tak ber­henti sampai republik ini merdeka, tapi terus hidup berlanjut saat memper­tahankan kedaulatan RI dari rongrongan kaum penjajah.
Satu hal penting yang perlu diingat, negeri ini lahir atas buah karya keikhlas­an para mujahid pejuang kemerdekaan atas berkat rahmat Allah SWT. Sebagai­mana tercantum dengan tegas da­lam Pembukaan UUD 1945 “Atas berkat rahmat Allah SWT….” Karena, jika tidak atas berkat rahmat Allah SWT, tidaklah mungkin bambu runcing dapat menang me­lawan senjata-senjata modern pa­suk­an asing.
Era Penjajahan Belanda: “Pendeta Islam”
Ketika imperialisme dan kolonialisme menjajah Indonesia, penduduk negeri ini tidak tinggal diam, dan terus-menerus mengadakan perlawanan. Umat Islam, sebagai mayoritas penduduk Nusantara, memiliki peran penting di dalam proses yang panjang dalam perjuangan me­lawan penjajahan. Perlawanan awal di­lakukan oleh kerajaan-kerajaan, dan ke­mudian disambung dengan perlawanan rakyat semesta yang dipimpin oleh para ulama hampir di seluruh wilayah Indo­nesia.
Ulama, sebagai informal leader yang merakyat, dekat dengan rakyat, ditampil­kan oleh umat Islam sebagai pemimpin­nya dalam perang melawan penjajahan. Selain itu, semangat perang sabil se­ba­gai penggerak umat untuk berani me­lawan penjajah yang zhalim juga menjadi salah satu faktor gencarnya perlawanan rakyat.
Setidaknya ada enam jasa utama yang telah diberikan para ulama untuk perjuangan kemerdekaan.
Pertama, menyadarkan rakyat akan ketidakadilan dan kesewenang-wenang­an penjajah. Di berbagai pesantren, ma­drasah, ceramah, organisasi, dan per­temuan lainnya, para ulama menanam­kan kesadaran di hati rakyat akan ke­tidakadilan dan kesewenang-wenangan penjajah.
Pengaruh para ulama, yang disebut ”pendeta Islam”, diakui oleh penjajah. Thomas S. Raffles, letnan gubernur EIC, yang memerintah tahun 1811-1816 di Indonesia, berkata, “Karena mereka be­gitu dihormati, tidak sulit bagi mereka un­tuk menghasut rakyat agar memberon­tak, dan mereka menjadi alat paling ber­ba­haya di tangan penguasa pribumi yang menentang kepentingan pemerin­tah kolonial. ‘Pendeta Islam’ itu ternyata adalah golongan yang paling aktif dalam setiap peristiwa pemberontakan. Mereka umumnya berdarah campuran antara orang Arab dan penduduk pribumi, da­lam jumlah besar berkeliling dari negara satu ke negara lain, di pulau-pulau Timur. Akibat intrik dan hasutan mereka, pemimpin pribumi biasanya dikerahkan untuk menyerang atau membunuh orang Eropa, yang mereka anggap sebagai kafir dan pengacau.”
Kedua, memimpin gerakan non-kooperatif kepada penjajah Belanda. Para ulama di masa penjajahan banyak mendirikan pesantren di daerah-daerah terpencil, untuk menjauhi bangsa penja­jah, yang banyak tinggal di kota.
Ketika Belanda, di masa revolusi, mempropagandakan pelayanan per­jalan­an haji dengan ongkos dan fasilitas yang dapat dijangkau oleh kaum muslim di daerah jajahannya, Hadratusy Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari, pemimpin para ulama di Jawa, menentang. Ia menge­luarkan fatwa bahwa pergi haji dalam masa revolusi dengan menggunakan ka­pal Belanda, hukumnya haram.
Ketika posisi Belanda sulit dalam Perang Dunia II, mereka meminta orang-orang Indonesia masuk militer Belanda dengan dalih untuk mempertahankan Indonesia melawan musuh, Jepang. Wak­tu itu Kiai Hasyim mengeluarkan fat­wa yang terkenal, yaitu mengharamkan masuk menjadi tentara Belanda atau bekerja sama dengan Belanda dalam bentuk apa pun.
Setiap bujukan agar Kiai Hasyim tun­duk dan mendukung Belanda selalu ga­gal. Bahkan tawaran Belanda yang akan menganugerahkan bintang jasa terbuat dari perak dan emas pada 1937 ditolak­nya.
Gerakan non-kooperatif kepada pen­jajah itu juga dilakukan dan dipimpin oleh ulama-ulama lainnya.
Ketiga, mengeluarkan fatwa wajib­nya jihad melawan penjajah. Fatwa jihad ini sangat besar pengaruhnya dalam mem­bangkitkan semangat perlawanan. Perang melawan penjajah dianggap jihad fi sabîlillah, yakni perang suci atau perang sabil demi agama.
Ajaran perang suci ini muncul di Aceh paling awal abad ke-17, dibangkit­kan oleh para guru agama pada masa krisis, yang terhebat pada akhir abad ke-19. Salah satu guru agama di tengah me­dan perang, Syaikh Abbas Ibnu Mu­hammad, mengatakan dalam Tadzkirat ar-Rakidin (ajaran utama tahun 1889) bahwa Aceh adalah Dar-al-Islam, kecuali daerah yang diperintah Belanda dan men­jadi Dar-al-Harb. Jihad merupakan kewajiban moral (fardu ain) orang Islam berperang untuk mengembalikan tanah yang dikuasai orang kafir kepada Dar-al-Islam.
Perang Diponegoro atau Perang Jawa, yang berkobar lima tahun (1825-1830), juga karena alasan serupa. Da­lam permintaan dukungannya kepada ulama, bangsawan, dan masyarakat Jawa, Pangeran Diponegoro (pangeran yang juga ulama) menekankan bahwa ia adalah pemimpin perang sabil, perang suci, untuk mengusir Belanda, yang tidak beriman, dari tanah Jawa. Ia menyurati ulama dan pemimpin di Jawa Tengah dan Jawa Timur, mengimbau mereka “un­tuk ikut melawan Belanda di seluruh daerah untuk mengembalikan keduduk­an tinggi kerajaan berdasar agama yang benar (ngluhurke agami Islam)”. Dalam menyebarkan fatwa jihad itu, Diponegoro dibantu oleh Kiai Mojo, Kiai Besari, dan ulama-ulama lainnya.
Era Penjajahan Jepang: Daidancho Kiai

Tujuan dibentuknya Tentara Suka­rela PETA oleh pemerintah pendudukan Jepang, selain berkewajiban memper­tahankan wilayah teritorial, di Jawa dan Bali, juga disiapkan untuk melawan Se­kutu. Oleh sebab itu, Tentara Sukarela PETA dilatih langsung oleh tentara Je­pang dan berada di bawah langsung ko­mando Panglima Tentara Jepang.
Jepang paham bahwa usaha me­mobi­lisasi massa guna menghadapi ke­kuatan Sekutu membutuhkan kekuatan massa sekaligus keberanian moral da­lam suasana perang. Itu sebabnya, di­butuhkan pemimpin-pemimpin yang te­lah memiliki akar di tengah rakyat serta me­miliki pengaruh ajaran agama yang diyakini. Perang butuh orang-orang yang memiliki keberanian dan jiwa rela ber­korban. Dan berdasar catatan arsip kolo­nial yang dimiliki Belanda, Jepang me­ngetahui bahwa rakyat Indonesia yang memenuhi syarat untuk berperang ada­lah umat Islam, sebagaimana data kolo­nial arsip yang menyebutkan bahwa an­tara tahun 1800 hingga 1900 (100 tahun) telah terjadi usaha-usaha pemberontak­an terhadap pemerintah kolonial Belan­da yang dilakukan rakyat di bawah pim­pinan tokoh-tokoh tarekat sebanyak 112 kali.
Atas dasar alasan itu, dalam rekrut­men anggota Tentara Sukarela PETA, para kiai, ulama, guru agama Islam di­beri kesempatan untuk menjadi pemim­pin PETA dengan diangkat menjadi daidancho. Selain itu, yang juga bisa di­angkat menjadi daindancho adalah pa­mong praja setingkat wedana, asisten wedana, jaksa, pemimpin partai. Untuk pangkat chudancho, diangkat dari ka­langan pegawai negeri, guru sekolah. Sedang untuk shodancho dipilih siswa-siswa sekolah menengah atas.
Dengan kebijakan pemerintah pen­dudukan Jepang seperti itu dalam rekrut­men Tentara Sukarela PETA, sebagian di antara komandan  batalyon PETA yang terpilih dengan pangkat daidancho (mayor) itu adalah para kiai dari komuni­tas pesantren, yang memiliki latar pendi­dikan pesantren. Keberadaan para kiai ter­sebut terlihat saat latihan pertama Tentara Sukarela PETA yang dimulai pada 5 Oktober 1943, terdapat sejumlah nama komandan batalyon dan kepala staf batalyon yang berpredikat ”kiai”.
Akibat cukup banyak kiai yang men­jabat komandan batalyon, surat kabar Asia Raya 22 Januari 1944 memper­tanyakan sebutan yang pas untuk me­reka  “Apa para kiai cukup disebut dai­dan­cho atau ada tambahan daidancho kiai?”
Peristiwa pembentukan Tentara Suka­rela PETA ini adalah babak baru dari sejarah umat Islam dalam bidang ke­militeran. Jika sebelumnya dalam ber­ba­gai perlawanan bersenjata terhadap pemerintah kolonial Belanda selalu di­lakukan peperangan dengan teknik-tek­nik tempur tradisional, melalui Tentara Sukarela PETA ini umat Islam memasuki ba­bak baru sejarah perang modern de­ngan dilatih langsung oleh tentara-ten­tara profesional Jepang yang sejak ta­hun 1905 sudah berhasil menunjukkan kehebatannya dengan menghancurkan armada Rusia dalam pertempuran di Te­luk Tchusima dan pada Maret 1942 meng­hancurkan kekuatan Belanda dalam per­tempuran di Laut Jawa.
Setahun kemudian, tepatnya pada 14 Oktober 1944, pemerintah pendu­duk­an Jepang membentuk Hizbullah di Ja­karta. Hizbullah secara khusus berang­gotakan pemuda-pemuda Islam se-Jawa dan Madura. Pada latihan pertama di Cibarusa, Bogor, yang diikuti 500 orang pemuda muslim, tercatat sejumlah nama kiai dari pondok pesantren, seperti K.H. Mustofa Kamil (Banten), K. Mawar­di (Solo), K. Zarkasi (Ponorogo), K. Mursyid (Pacitan), K. Syahid (Kediri), K. Abdul Halim (Majalengka), K. Thohir Dasuki (Surakarta), K. Roji’un (Jakarta), K. Munasir Ali (Mojokerto), K. Abdullah, K. Wahib Wahab (Jombang), K. Hasyim Latif (Surabaya), K. Zainuddin (Besuki), Sulthan Fajar (Jember), dan lain-lain.
Fenomena militerisasi di lingkungan umat Islam tradisional di pesantren tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan organisasi yang didirikan orang-orang berlatar pendidikan pesan­tren.
Jauh sebelum organisasi Nahdlatul Ulama diproklamasikan pada tahun 1926, telah lahir lebih dulu organisasi ke­pemudaan Nahdlatul Wathan (Kebang­kitan Tanah Air) pada 1916. Organi­sasi yang didirikan K.H. Wahab Hasbul­lah dan K.H. Mas Mansyur itu bergerak di bidang sosial, pendidikan, dan dak­wah. Tahun 1918, K.H. Wahab Hasbul­lah, K.H. Mas Mansyur, H.O.S. Tjokro­aminoto, K.H. A. Dahlan Ahyad, dan P. Mangun membentuk organisasi Taswirul Afkar. Organisasi ini bagian dari perkum­pulan Suryo Sumirat dan sejak didirikan 1918 papan nama Taswirul Afkar ditulis “Suryo Soemirat Afdeeling Taswirul Afkar.”
Itu sebabnya, latihan militer yang be­rat di PETA maupun Hizbullah bukanlah sesuatu yang asing bagi para kiai yang berasal dari kalangan pesantren, apalagi mereka disemangati oleh cerita-cerita per­lawanan para ulama pendahulu me­reka yang tidak mau tunduk kepada pe­merintah kolonial Belanda.
Ketika Jepang terdesak hebat dalam perang di Pasifik, dibentuklah pusat-pu­sat latihan militer yang salah satunya ada­lah di Besuki. Berdasar Keputusan Ber­sama antara penguasa militer Je­pang di Besuki (Besuki Syu), Majelis Syuro Muslimin Indonesia, yang diketuai K.H. Mursyid, Yogeki Shodancho Wah­yudi, dan pemimpin Hizbullah yang baru lulus dari Cibarusa, Bogor, diselenggara­kan pendidikan dan latihan bagi bintara selama satu bulan dengan pusat latihan di Desa Awu-awu, Kecamatan Temu­guru, Kabupaten Banyuwangi. Latihan yang diikuti oleh seluruh bintara PETA dan Hizbullah se-Karesidenan Besuki itu dimulai pada 20 Juni 1945 dan berakhir pada 21 Juli 1945.
Susunan organisasi pelatihan itu ada­lah Mayor Fukai dan Kobayashi dari Komando Militer (Butai) sebagai pemim­pin, K.H. Mursyid sebagai penasihat, Yogeki Shodancho Wahyudi sebagai instruktur (taicho), Sulthan Fajar (koman­dan korp Hizbullah Karesidenan Besuki) se­bagai asisten instruktur (fuku taicho), dan 23 perwira Hizbullah lulusan Ciba­rusa, Bogor, sebagai komandan latihan peleton (sidokan). Sedangkan ketua pa­nitia penyelenggara adalah Nuruddin, anggota Syu Sangikai (DPRD) Besuki.
Berbekal pengetahuan militer mo­dern yang diperoleh dari pendidikan di PETA dan Hizbullah, para kiai dan pe­muda Islam di daerahnya masing-ma­sing kemudian membentuk satuan-satu­an paramiliter.
Keberadaan Tentara Sukarela PETA dan Hizbullah menjadi penting karena saat proklamasi kemerdekaan dikuman­dangkan pada 17 Agustus 1945, dan Ne­gara Kesatuan Republik Indonesia dibentuk tanggal 18 Agustus 1945, sam­pai awal Oktober belum memiliki tentara. Dan setelah dikritik oleh Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo dibentuklah Badan Keamanan Rakyat (BKR). Maka berbon­dong-bondonglah masyarakat mendaf­tarkan diri. Namun yang berkompeten me­miliki kemampuan militer yang terlatih adalah elemen Tentara Sukarela PETA dan Hizbullah, ditambah mantan ang­gota Heiho (orang Indonesia yang men­jadi tentara reguler Jepang) dan mantan KNIL (Koninklijk Nederlands Indische Leger —  pribumi yang masuk da­lam Angkatan Darat Hindia Belanda). Itu sebabnya, elemen-elemen terlatih itu menduduki posisi penting di BKR.
Sejak awal dibentuknya BKR sampai berkembang menjadi TKR, TRI, dan TNI, para kiai dan tokoh-tokoh pesantren yang terdidik di   kesatuan PETA dan Hizbullah dan Sabilillah memiliki peran pen­ting dalam pembentukan barisan-ba­risan dalam kemiliteran setingkat ba­talyon. Dalam sejarah pembentukan TNI, mereka yang tercatat sebagai ko­mandan batalyon yang berasal dari  ke­satu­an PETA, Hizbullah, dan Sabilil­lah dewasa itu adalah Kiai Choliq Has­jim, Kiai Amien Djakfar, Kiai Abdoel Chamid, Kiai Iskandar Idris, Kiai Joenoes Anis, Kiai Basoeni, Kiai Doerjatman, Kiai Abdoellah bin Noeh, Kiai Ternaya, Kiai Idris, K.R.M. Moeljadi Djojomartono, Kiai Sjam’oen, Kiai Iskandar Sulaiman, Kiai Zarkasi, Kiai Mursyid, Kiai Syahid, Kiai Abdullah, Kiai Zainudin, Kiai Masjkoer, Kiai Bisri Sjansoeri, Kiai Zainal Arifin, Kiai Sulam Sjamsun, Kiai Moenasir Ali, Kiai Wahib Wahab, Kiai Jasin, Kiai Mansjoer Sholichy, Kiai Achjat Chalimi, Kiai Hasjim Latif, Kiai Anwar Zen, Kiai Hasan Sjai­foerrizal, Kiai Zaini Moen’im, Kiai Djoe­naidi, Kiai Asnawi Hadisiswoyo, K.R. Salimoelhadi, Kiai Bolkin, Kiai Abdoellah Abbas, Kiai Mahfoedz, K.P. Hadisoe­narto, Kiai Abdoel Moeslim, Kiai Moes­lim, Kiai Dimjati Moeid, Kiai Moeslich, Kiai Ridwan, Kiai Imam Nawawi, Kiai Zaeni, Kiai Soedjak, Kiai Asfani, Kiai Ab­doel Syoekoer, Kiai Djarkasi, Kiai Ma’roef, Kiai Siradj, Kiai Abdoerrach­man, Kiai Martowikoro, serta tokoh-to­koh Ansor, seperti Sulthan Fajar, Hamid Rusdi, Zein Thoyyib.
Bertolak dari paparan singkat sejarah pembentukan Tentara Sukarela PETA dan Hizbullah, yang berperang penting da­lam pembentukan TNI, menjadi sa­ngat wajar jika kalangan pesantren memiliki hubungan historis yang sangat kuat dengan TNI dan NKRI.
Itu sebabnya, ketika negara Indone­sia menghadapi ancaman, baik ancam­an teritorial maupun ideologis, kalangan pesantren secara refleks akan terpang­gil. Sebab tanpa perlu pengakuan formal sejarah pun, kalangan pesantren memi­liki kewajiban moral untuk melindungi dan membela negara Indonesia, karena mereka ikut membidani lahirnya negara Indonesia.
Mempertahankan Kedaulatan RI
Memang, menyinggung perang di Sura­baya tidak lepas dari sosok Bung Tomo, yang baru tahun kemarin “resmi” di­angkat sebagai pahlawan. Dialah orator ulung yang menggerakkan rakyat Surabaya untuk menghadang Sekutu. Pagi hari menjelang penyerbuan Inggris, Bung Tomo mengobarkan semangat per­lawanan rakyat lewat corong radio.
“Bismillahirrahmanirrahim…. Dan kita yakin, Saudara-saudara, pada akhir­nya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita. Sebab, Allah selalu berada di pihak yang benar. Percayalah, Sau­dara-saudara, Tuhan akan melindungi kita sekalian. Allahu Akbar..! Allahu Akbar..! Allahu Akbar…! Merdeka!”
Kalimat basmalah sebelum pidato ser­ta takbir menjelang penutupan pidato ter­sebut tentu menarik untuk dicermati. Se­bab, menilik latar belakangnya, Bung Tomo hampir tidak pernah menjalani ak­ti­vitas yang erat kaitannya dengan dunia santri.
Sejak lahir pada 3 Oktober 1920 hing­ga perang itu pecah, ia lebih banyak bersentuhan dengan kalangan nonsan­tri. Jika Surabaya ketika itu punya dua “area” santri (Ampel dan Plampitan), Bung Tomo pun bukan “alumnus” kedua-duanya.
Pertanyaannya, kenapa Bung Tomo begitu fasih memekikkan takbir untuk menggugah perlawanan?
Jawabannya, Bung Tomo memiliki ke­dekatan dengan para ulama. Tapi ja­waban tersebut kurang memuaskan, ka­rena pada zaman itu setiap ideologi bisa berdialog tanpa harus kehilangan iden­titas. Misi merebut dan mempertahankan ke­merdekaan berhasil mendekatkan ja­rak antar-ideologi. Meskipun, dalam ba­bak Indonesia selanjutnya, “pertarung­an” itu cukup keras.
Disertasi William H. Frederick, In Memoriam: Sutomo, tampaknya menjadi benang merah untuk menjawab misteri tak­bir Bung Tomo. Buku yang diterje­mah­kan dengan judul Bung Tomo: Pan­dang­an dan Gejolak (1979) itu menye­butkan, pekik takbir dilakukan setelah me­lalui per­hitungan psikologis yang cu­kup matang. Takbir digunakan untuk me­narik perhati­an umat Islam yang berada di Surabaya tetapi belum terjaring dalam perlawanan. Artinya, Bung Tomo, seper­tinya, sangat tahu bahwa pejuang yang terjun di la­pangan adalah kalangan san­tri, yang sebagian besar datang dari luar kota.
Faktanya, pidato menggelora Bung Tomo membuat semangat heroisme para pejuang di lapangan semakin man­tap. Sebab, dalam tradisi Islam, penggu­naan takbir untuk mempertahankan ta­nah air sama halnya dengan panggilan perang suci. Pidato Bung Tomo seakan menjadi sangkakala dimulainya sebuah pertempuran. Meski bersenjata seada­nya, rakyat dengan gagah berani berha­dapan langsung melawan tentara Ing­gris, yang akan menyelundupkan tentara Belanda. Perang face-to-faceitulah yang membedakan Surabaya dengan daerah lain, yang dengan taktik gerilya.
Benang merah keterkaitan itu sema­kin terlihat dengan terkuaknya fakta bah­wa resolusi jihad yang difatwakan Nahdlatul Ulama (NU) dikeluarkan 18 hari sebelumnya. K.H. Hasyim Asy’ari memerintah K.H. Wahab Hasbullah dan K.H. Bisri Syansuri mengadakan rapat dengan kiai se-Jawa dan Madura di Kantor PB Ansor NU, Jalan Bubutan VI/2, 22 Oktober 1945. Pada 23 Oktober 1945, atas nama Pengurus Besar NU, Kiai Hasyim mendeklarasikan jihad fi sabilillah. Fatwa itulah yang kemudian disahkan dalam Muktamar Ke-16 NU di Purwokerto pada 26-29 Maret 1946.
Lima butir resolusi jihad itu adalah, per­tama, kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan. Kedua, RI, sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah, harus dijaga dan ditolong. Ketiga, musuh RI ialah Belanda, yang kembali ke Indo­nesia dengan bantuan tentara Sekutu. Keempat, umat Islam harus mengangkat senjata melawan Belanda dan tentara Sekutu yang ingin menjajah Indonesia kembali. Dan kelima, perang suci wajib bagi setiap muslim yang tinggal dalam radius 94 kilometer, bantuan material bagi yang berada di luar radius tersebut.
Resolusi jihad mampu menyulap ber­bagai pesantren dari tempat pendidikan menjadi markas laskar Sabilillah dan Hiz­bullah untuk diberangkatkan ke Sura­baya. Di antara alumnus dua laskar yang termasyhur ikut bertempur di Surabaya adalah K.H. Munasir Ali, K.H. Yusuf Hasyim, K.H. Baidowi, K.H. Mukhlas Rowi, K.H. Sulanam Samsun, K.H. Amien, K.H. Anshory, dan K.H. Adnan Nur.
Namun, panggilan hati sebagai pen­jaga umat membuat para kiai itu tidak me­lanjutkan karier militernya secara maksi­mal setelah revolusi fisik. Mereka pun kem­bali mengasuh pesantren. Bah­kan, menyingkir dari arena politik sama sekali.
Untuk kondisi sekarang, peran mere­ka yang begitu heroik mungkin sudah “di­lupakan” generasi kontemporer. Sebab, kiprah mereka memang tidak terdo­ku­mentasi dalam buku sejarah, lebih-lebih buku-buku pelajaran di sekolah. Namun, pekik takbir Bung Tomo, yang laris di­putar setiap 10 November, sesungguh­nya merupakan bukti nyata betapa para ulama bertaruh nyawa mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Share this article :
Comments
0 Comments

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Pengikut

 
Support : NU | Muhammadiyah | Indonesia
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. ISLAM NKRI - All Rights Reserved
Original Design by Creating Website Modified
Trima kasih atas kunjuan anda Kritik, saran, informasi atau artikel dapat dikirimkan kepada kami melalui email: bachtiar.irfan@gmail.com !