Sistem kekhalifahan, yang dikenal sampai masa kekhalifahan Utsmaniyah, hanya salah satu bentuk yang dapat dibenarkan, tetapi bukan satu-satunya bentuk baku yang ditetapkan. Jika perkembangan pemikiran manusia atau kebutuhan masyarakat menuntut bentuk lain, itu dibenarkan pula oleh Islam, selama nilai-nilai yang diamanatkan maupun unsur-unsur perekatnya tidak bertentangan dengan Islam.
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang kemerdekaannya diraih dengan air mata, darah, dan nyawa, adalah negeri yang sangat kaya akan sumber daya alam, baik yang berupa energi, tanaman keras, tanaman pangan, maupun keragaman hayati yang sangat dibutuhkan umat manusia. Semua itu adalah amanat dari Allah SWT yang wajib disyukuri. Umat Islam Indonesia perlu benar-benar memahami segi-segi keragaman atau kebhinekaan bangsa ini. Dalam kebhinekaan bangsa seperti itulah umat Islam dapat menemukan lahannya untuk berdakwah dalam arti yang seluas-luasnya.
Islam mengakui kebhinekaan dan memberikan dasar-dasar wawasan kebangsaan yang patut dikembangkan agar umat dapat menjadi kader teladan bangsa di lingkungannya. Pengakuan dan penghormatan atas kebhinekaan dan kebangsaan sepatutnya diwujudnyatakan melalui karya nyata kalangan penggiat dakwah Islam.
Piagam Madinah, yang diprakarsai Nabi Muhammad SAW, berikut kajiannya selayaknya terus dimasyarakatkan pula, terutama melalui para pelajar Islam, agar dapat dipahami benar betapa Rasulullah SAW memiliki naluri kenegaraan dan kebangsaan yang prima dan betapa besar kontribusi Islam bagi konstitusi-konstitusi negara modern sekarang. Pemahaman tentang hal itu juga berguna agar orang tak lagi gamang menyikapi tuntutan dikembalikannya khilafah Islamiyah di atas muka bumi ini.
Secara teoretis dan harfiyah, khilafah memang konsep penting dalam tata politik menurut agama Islam. Dan pada kenyataannya, hampir semua kitab fiqih senantiasa mengutip tema itu untuk merujuk pada konteks perpolitikan Islam. Dalam analisis historis pada beberapa tulisan, para ulama salaf, baik dunia maupun Nusantara, disebut-sebut sebagai penyokong pendapat wajibnya khilafah Islamiyah didirikan.
Berjuta pertanyaan seakan menggelayut di benak kita. Kenapa gerakan atas ide ini baru muncul sekarang? Kenapa, contohnya dalam konteks Indonesia, ulama-ulama di masa kemerdekaan menyepakati berdirinya Negara Nasional Indonesia, dan bukan Negara Internasional Islam saja? Mungkinkah mereka tidak membaca kitab fiqih, yang juga dibaca oleh dai-dai penyokong ide khilafah sekarang? Kalau sama-sama pernah membaca dan mengkaji dalam intensitas yang barangkali sejajar, kenapa hipotesis dan resep yang ditawarkan berbeda? Ataukah ulama-ulama zaman dulu memang berada dalam posisi yang terintimidasi, sehingga akhirnya ide khilafah harus mereka lepas? Tapi kenapa harus mereka lepas begitu saja kalau khilafah memang benar-benar doktrin mendasar dalam agama Islam, padahal Kiai Hasyim Asy’ari saja sampai rela masuk penjara gara-gara menolak membungkuk ke arah Tenno Haika? Kenapa pula para ulama sepuh Nusantara tempo dulu itu harus repot-repot mempertahankan kemerdekaan NKRI dari ancaman agresi penjajah?
Sampai di sini, mungkinkah ada upaya untuk memotong garis historis di sini? Wallahu a’lam. Apakah ada kepentingan-kepentingan tertentu di balik wacana ini? Lagi-lagi, wallahu a’lam. Mereka yang menuntut khilafah juga manusia, yang mungkin bisa bersalah dan lupa. Rasanya, ada sejarah yang diputus. Ada tradisi yang dilupakan. Ada ulama penyambung yang diperlakukan acuh tak acuh. Dan, pada akhirnya, ada ketidakseimbangan dalam tuntutan atas khilafah Islamiyah itu.
Rekaman Sejarah
Di antara dalil yang banyak dikutip oleh para ”pejuang khilafah” belakangan ini adalah sebuah hadits yang maknanya, ”Jika dibai’at dua orang khalifah, bunuhlah yang terakhir dari keduanya.”
Bagaimana rekaman sejarah soal ini? Sejarah mencatat bahwa hanya di era Khulafa’ Rasyidin terdapat satu khalifah untuk umat Islam. Dua khalifah pada satu waktu bahkan sudah terjadi di era sahabat, sejak Muawiyah mendirikan kekhalifahan tandingan terhadap Al-Hasan, cucunda Rasul, yang kemudian menyerahkannya kepada Muawiyah demi perdamaian. Sejak itu berdirilah Dinasti Umayyah I (661-750) dan kemudian berlanjut pada Dinasti Abbasiyah (750-1258).
Tahun 909, ketika Abbasiyah masih berkuasa, telah berdiri juga kepemimpinan umat di Mesir oleh Fathimiyyah. Di masa Abbasiyah, Cordova (Andalusia) juga memisahkan diri dan punya kekhalifahan sendiri (Umayyah II; 780-1031). Saat Abbasiyah dan Umayyah II masih berkuasa, Dinasti Idrisiyyah juga berdiri di Maroko (789-926). Pada masa Fathimiyyah di Mesir (909-1171), juga berdiri kekuasaan Buyids di Iran-Irak (945-1055). Buyids hilang, lalu muncul Saljuk (1055-1194), sementara Fatimiyah masih berkuasa di Mesir sampai 1171. Ayubid meneruskan Fathimiyyah dengan kekuasaan meliputi Mesir dan Syria (1169-1260). Simak pula masa berkuasanya Dinasti Mamluk (1250-1517), Ottoman (1280-1922), Safavid (1507-1722), Mughal (1526-1857). Duh, kompleks sekali.
Sejarah menunjukkan, sejak era khulafa’ rasyidun ternyata khilafah itu tidak satu, bisa ada dua atau tiga khalifah pada saat yang bersamaan. Lalu, siapa yang harus dipenggal lehernya dan siapa yang memenggal? Mana yang sah dan mana yang harus dibunuh?
Sejarah mencatat, dalam periode khilafah pasca-khulafa’ rasyidin telah terjadi perubahan aturan pengangkatan khalifah seperti yang dipraktekkan sebelumnya, perubahan cara hidup para khalifah, perubahan kondisi baitul mal, hilangnya kemerdekaan mengeluarkan pendapat, hilangnya kebebasan peradilan, berakhirnya pemerintah berdasarkan syura, munculnya kefanatikan kesukuan, dan hilangnya kekuasaan hukum.
Sejarah itu seperti cermin: ada yang baik dan ada yang buruk. Kita harus menyikapinya secara proporsional. Jangan pula buruk muka cermin dibelah. Di sini ditampilkan sisi buruknya, agar kita tidak hidup dalam angan-angan atau nostalgia masa lalu tanpa mengetahui sisi buruk masa lalu itu.
Ada kesan bahwa dengan memunculkan jargon khilafah is the only solution, kita melupakan bahwa sebenarnya banyak kisah kelam (sebagaimana juga banyak kisah ”keemasan”) dalam masa kekhilafahan itu. Jadi, mendirikan kembali khilafah tidak berarti semua problem akan hilang dan lenyap. Dengan semakin banyaknya jumlah populasi umat Islam dan semakin beragamnya pemahaman keagamaan di tengah umat, bisa-bisa ada sepuluh orang yang bersikeras merupakan khalifah sejati umat ini kalau ide khilafah itu dibenarkan untuk kondisi sekarang.
Karenanya, sejumlah ulama belakangan berusaha ”mentakwil” makna hadits di atas. Mereka menyadari bahwa situasi sudah berubah, dan Islam sudah meluas sampai ke pelosok kampung. Pernyataan Nabi di atas tidak bisa dilepaskan dari konteks traditional state di Madinah, yang resources, jumlah penduduk, dan luas wilayah masih sangat terbatas.
Resolusi Jihad untuk Teguhnya Republik
“Dan kita yakin, Saudara-sudara, pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita. Sebab, Allah selalu berada di pihak yang benar. Percayalah, saudara-saudara, Tuhan akan melindungi kita sekalian. Allahu Akbar...! Allahu Akbar...! Allahu Akbar...! Merdeka!”
Itulah sebagian isi pidato Bung Tomo yang fenomenal dan diakhiri takbir yang menggetarkan gelora jihad arek-arek Surabaya. Bung Tomo mungkin tak pernah menjadi santri, “Tetapi diketahui meminta nasihat kepada Kiai Hasyim Asy’ari,” tulis Martin van Bruinessen dalam NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru.
Namun, bagi warga nahdliyin, ada seruan lain yang lebih hebat dan membangkitkan semangat juang mereka, yakni Resolusi Jihad –monumennya diresmikan pada 23 Oktober 2011 di Surabaya untuk mengenang peran ulama dalam memperjuangkan kemerdekaan.
“Deklarasi ini,” tulis van Bruinessen, “yang kemudian terkenal sebagai Resolusi Jihad, tidak mendapat perhatian yang selayaknya dari para sejarawan. Resolusi itu menunjukkan bahwa NU mampu menampilkan diri sebagai kekuatan radikal yang tak disangka-sangka.”
NU tergerak menyatakan Resolusi Jihad setelah melihat sejumlah daerah jatuh ke tangan Inggris. Akhir September 1945, atas nama Netherlands Indies Civil Administration (NICA), Inggris menduduki Jakarta. Pertengahan Oktober, pasukan Jepang merebut kembali beberapa kota di Jawa dan menyerahkannya kepada Inggris. Beberapa hari sebelum Resolusi Jihad, Bandung dan Semarang diduduki Inggris setelah melalui pertempuran hebat. Demikian juga Surabaya, kedatangan pasukan Inggris pada 25 Oktober disambut dengan gelisah. Sementara itu pemerintah Republik Indonesia, yang baru saja memproklamasikan kemerdekaannya, masih menahan diri untuk melakukan perlawanan dan mengharapkan adanya penyelesaian secara diplomatik.
“Resolusi Jihad merupakan pengakuan terhadap legitimasi pemerintah Republik Indonesia sekaligus kritik tidak langsung terhadap sikap pasifnya,” tulis Van Bruinessen. Agaknya. NU menginginkan seruan jihad langsung diperintahkan oleh pemerintah Republik Indonesia. Namun, karena pemerintah pasif, NU melalui Resolusi Jihad-nya “memohon dengan sangat kepada pemerintah Republik Indonesia supaya menentukan sikap dan tindakan yang nyata serta sepadan... supaya memerintahkan melanjutkan perjuangan bersifat ‘Sabilillah’ untuk tegaknya negara Republik Indonesia merdeka dan agama Islam.”
“Resolusi jihad itu,” tulis Zuhairi Misrawi dalam Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, “memberi rangsangan motivasi yang amat kuat kepada para pemuda Islam untuk berjihad membela negara.”
Pada 21 dan 22 Oktober 1945, delegasi Nahdlatul Ulama se-Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya. Pertemuan yang dipimpin langsung oleh pendiri NU, Kiai Hasyim Asy’ari, itu menyatakan perjuangan kemerdekaan sebagai jihad atau perang suci, dan menentang kembalinya Belanda adalah kewajiban setiap muslim, fardhu ‘ain. Pertemuan itu menghasilkan Resolusi Jihad, yang menyatakan, “Pihak Belanda (NICA) dan Jepang telah banyak menjalankan kejahatan dan kekejaman, dengan maksud melanggar kedaulatan negara dan agama, serta ingin kembali menjajah. Di beberapa tempat telah terjadi pertempuran yang sebagian besar dilakukan oleh umat Islam yang merasa wajib menurut hukum agamanya. Karenanya umat Islam dan alim ulama di seluruh Jawa-Madura memiliki hasrat yang besar untuk mempertahankan dan menegakkan agama dan kedaulatan negara Republik Indonesia.”
Menurut Van Bruinessen, pasukan-pasukan nonreguler yang bernama Sabilillah – nama ini merujuk kepada Perang Suci – rupanya dibentuk sebagai respons langsung atas resolusi ini. Komandan tertinggi Sabilillah adalah pemimpin NU, Kiai Masykur dari Malang, yang kelak menjadi politisi terkenal dan menjabat menteri agama.
Resolusi Jihad juga dilontarkan dalam Muktamar Umat Islam Indonesia di Yogyakarta pada 7-8 November 1945, yang diselenggarakan oleh Masyumi, yang NU menjadi anggotanya –sayangnya, muktamar ini lebih dikenal hanya sebagai deklarasi pembentukan Partai Masyumi.
Seperti diberitakan Warta Indonesia, 17 November 1945, resolusi tersebut menyatakan, “Tiap bentuk penjajahan adalah kezhaliman yang melanggar perikemanusiaan dan diharamkan oleh Islam. Untuk membasmi tindakan imperialisme, setiap muslim wajib berjuang dengan jiwa raga bagi kemerdekaan negara dan agamanya. Untuk itu, harus memperkuat umat Islam demi berjihad fisabilillah.”
Semangat membela agama dan tanah air yang dipicu oleh Resolusi Jihad kemudian diperkuat lagi dengan pidato Kiai Hasyim Asy’ari, pada pembukaan Muktamar NU ke-16, dan, yang pertama setelah perang, pada 26-29 Maret 1946 di Purwokerto, “... sesungguhnya pendirian umat adalah bulat untuk mempertahankan kemerdekaan dan membela kedaulatannya dengan segala kekuatan dan kesanggupan yang ada pada mereka, tidak akan surut seujung rambut pun.”
Bagi NU, kiblat perjuangan kemerdekaan adalah Hadhratusy Syaikh K.H. M. Hasyim Asy’ari. Sejarah pun dengan amat jelas mencatat begitu besarnya peran kalangan NU di bawah kepemimpinan Hadhratusy Syaikh dalam mendirikan dan mempertahankan NKRI.
Ada sementara tulisan yang menyimpulkan bahwa sejumlah ulama Nusantara terdahulu turut menjadi penyokong gerakan khilafah yang mendunia. Nyatanya itu hanya tafsiran saat memanfaatkan kalimat-kalimat yang umum untuk keperluan khusus penulisnya. Persis sama dengan cara mereka menyikapi nash-nash agama atau teks-teks keagamaan dalam kitab-kitab karya para ulama salaf. Buktinya, selain banyaknya fakta sejarah yang menunjukkan peran ulama dalam merebut kemerdekaan untuk berdirinya Republik Indonesia, refleksi singkat dari Peristiwa 10 November di atas merupakan dalil tak terbantahkan bahwa ulama pun kemudian mati-matian mempertahankannya.
Kalimat-kalimat umum seperti apa? Contohnya, ketika ada istilah “khalifah”, “imam”, “amir”, atau “sulthan”, itu serta merta digeneralisir maknanya sebagai “pemimpin dalam doktrin khilafah Islamiyah”. Atau ketika ada kata-kata “persatuan umat Islam”, atau “umat yang satu”, lagi-lagi maknanya pun dipersempit semata-mata dalam konteks sistem kekhilafahan sedunia.
Persatuan, bukan Penyatuan
Dalam karyanya, Wawasan Al-Qur’an, Prof. Dr. Quraish Shihab mengulas perihal kebangsaan saat dikaitkan dengan tema penyatuan umat di bawah bendera khilafah Islamiyah. Berikut sebagian ulasannya:
Tidak dapat disangkal bahwa Al-Qur’an memerintahkan persatuan dan kesatuan. Sebagaimana secara jelas pula kitab suci ini menyatakan, “Sesungguhnya umatmu ini adalah umat yang satu.” – QS Al-Anbiya’ (2l): 92 dan Al-Mu’minun (23): 52.
Pertanyaan yang dapat saja muncul berkaitan dengan ayat ini adalah:
a) Apakah ayat ini dan semacamnya mengharuskan penyatuan seluruh umat Islam dalam satu wadah kenegaraan?
b) Kalau tidak, apakah dibenarkan adanya persatuan/kesatuan yang diikat oleh unsur-unsur yang disebutkan di atas, yakni persamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarah?
Yang harus dipahami pertama kali adalah pengertian dan penggunaan Al-Qur’an terhadap kata “umat”. Kata ini terulang 51 kali dalam Al-Qur’an, dengan makna yang berbeda-beda.
Ar-Raghib Al-Isfahani, pakar bahasa yang menyusun kamus Al-Qur’an, Al-Mufradat fi Gharib Al-Qur’an, menjelaskan bahwa umat adalah “kelompok yang dihimpun oleh sesuatu, baik persamaan agama, waktu, atau tempat, baik pengelompokan itu secara terpaksa maupun atas kehendak sendiri.”
Memang, tidak hanya manusia yang berkelompok dinamakan umat, bahkan binatang pun demikian. “Dan tiadalah binatang-binatang melata yang ada yang di bumi, tiada juga burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, kecuali umat-umat seperti kamu... “ – QS Al-An’am (6): 38.
Jumlah anggota suatu umat tidak dijelaskan oleh Al-Qur’an. Ada yang berpendapat, minimal empat puluh atau seratus orang. Tetapi, sekali lagi Al-Qur’an pun menggunakan kata “umat” bahkan untuk seseorang yang memiliki sekian banyak keistimewaan atau jasa, yang biasanya hanya dimiliki oleh banyak orang. Nabi Ibrahim AS, misalnya, disebut sebagai umat oleh Al-Qur’an surah An-Nahl (16): 20 karena alasan itu, ”Sesungguhnya Ibrahim adalah umat (tokoh yang dapat dijadikan teladan) lagi patuh kepada Allah, hanif dan tidak pernah termasuk orang yang mempersekutukan (Tuhan).” – QS An-Nahl (16): 120.
Kalau demikian, dapat dikatakan bahwa makna kata “umat” dalam Al-Qur’an sangat lentur, dan mudah menyesuaikan diri. Tidak ada batas minimal atau maksimal untuk suatu persatuan. Yang membatasi hanyalah bahasa, yang tidak menyebutkan adanya persatuan tunggal.
Di sisi lain, dalam Al-Qur’an ternyata ditemukan sembilan kali kata “umat” yang digandengkan dengan kata “wahidah”, sebagai sifat umat. Tidak sekali pun Al-Qur’an menggunakan istilah “wahdat al-ummah” atau “tauhid al-ummah” (kesatuan/penyatuan umat). Karena itu, sungguh tepat analisis Mahmud Hamdi Zaqzuq, mantan dekan Fakultas Ushuluddin Al-Azhar Mesir, yang disampaikan pada pertemuan Cendekiawan Muslim di Aljazair 1409 H/1988 M, bahwa Al-Qur’an menekankan sifat umat yang satu, dan bukan pada penyatuan umat. Ini juga berarti bahwa yang pokok adalah persatuan, bukan penyatuan.
Perlu pula digarisbawahi, makna umat dalam konteks tersebut adalah pemeluk agama Islam. Sehingga ayat tersebut pada hakikatnya menyatakan bahwa agama umat Islam adalah agama yang satu dalam prinsip-prinsip (ushul)-nya, tiada perbedaan dalam aqidahnya, walaupun dapat berbeda-beda dalam perincian (furu’) ajarannya. Artinya, kitab suci ini mengakui kebhinekaan dalam ketunggalan.
Ini juga sejalan dengan kehendak Ilahi, antara lain yang dinyatakan-Nya dalam Al-Qur’an surah Al-Maidah (5): 48, “Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja).” Tetapi itu tidak dikehendaki-Nya. Sebagaimana terpahami dari perandaian kata lauw, yang oleh para ulama dinamai harf imtina’ limtina’, atau, dengan kata lain, mengandung arti kemustahilan.
Kalau demikian, tidak dapat dibuktikan bahwa Al-Qur’an menuntut penyatuan umat Islam seluruh dunia pada satu wadah persatuan saja dan menolak paham kebangsaan.
Jamaluddin Al-Afghani, yang dikenal sebagai penyeru persatuan Islam (Liga Islam atau Pan-Islamisme), menegaskan, idenya itu bukan menuntut agar umat Islam berada di bawah satu kekuasaan, tetapi hendaknya mereka mengarah kepada satu tujuan, serta saling membantu untuk menjaga keberadaan masing-masing.
“Janganlah kamu menjadi seperti mereka yang berkelompok-kelompok dan berselisih setelah datang penjelasan kepada mereka ...” – QS Ali ‘Imran (3): 105.
Kalimat “dan berselisih” digandengkan dengan “berkelompok” untuk mengisyaratkan bahwa yang terlarang adalah pengelompokan yang mengakibatkan perselisihan.
Kesatuan umat Islam tidak berarti dileburnya segala perbedaan atau ditolaknya segala ciri/sifat yang dimiliki oleh perorangan, kelompok, asal keturunan, atau bangsa.
Kelenturan kandungan makna umat seperti yang dikemukakan terdahulu mendukung pandangan ini. Sekaligus membuktikan bahwa dalam banyak hal Al-Qur’an hanya mengamanatkan nilai-nilai umum dan menyerahkan kepada masyarakat manusia untuk menyesuaikan diri dengan nilai-nilai umum itu. Ini merupakan salah satu keistimewaan Al-Qur’an dan salah satu faktor kesesuaiannya dengan setiap waktu dan tempat.
Dengan demikian, terjawablah pertanyaan pertama itu, yakni Al-Qur’an tidak mengharuskan penyatuan seluruh umat Islam ke dalam satu wadah kenegaraan. Sistem kekhalifahan, yang dikenal sampai masa kekhalifahan Utsmaniyah, hanya merupakan salah satu bentuk yang dapat dibenarkan, tetapi bukan satu-satunya bentuk baku yang ditetapkan. Oleh sebab itu, jika perkembangan pemikiran manusia atau kebutuhan masyarakat menuntut bentuk lain, itu dibenarkan pula oleh Islam, selama nilai-nilai yang diamanatkan maupun unsur-unsur perekatnya tidak bertentangan dengan Islam.
Masyarakat Islam Internasional
Setelah mengurai betapa telah mengguritanya jaringan Yahudi maupun Nasrani yang menguasai dunia Barat dan mengklaim diri sebagai Masyarakat Internasional dan berhasil menguasai institusi PBB untuk mencapai keinginan memperbudak seluruh masyarakat dunia di semua sektor kehidupan, Habib Rizieq Syihab, ketua umum FPI, menyatakan, “Dengan apa yang sudah diuraikan di atas tadi, sudah saatnya umat Islam di seluruh dunia bersatu membangun Masyarakat Islam Internasional sebagai tandingan dari Masyarakat Internasional ala Zionis dan Salibis. Itu bisa diawali dengan memfungsikan OKI (Organisasi Konferensi Islam) sebagai embrio khilafah Islam. Dunia Islam harus mampu menghapus semua sekat yang telah memisahkan mereka selama berabad-abad.”
Sampai di sini, Habib Rizieq kemudian menyampaikan sejumlah usulan berupa hal-hal konkret yang dapat dilakukan untuk merealisasikan ide khilafah Islam yang mencakup berbagai sektor, seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, teknologi, dan sebagainya.
Kemudian, Habib Rizieq melanjutkan, ”Selama ini, upaya perjuangan penegakan khilafah Islamiyyah dianggap oleh sebagian kalangan sebagai sesuatu yang utopis. Bahkan cenderung dimusuhi oleh berbagai negara Islam sendiri, karena dianggap sebagai gerakan politik yang akan menumbangkan semua pemerintahan di negara-negara Islam. Para pemimpin negeri Islam memandang para pejuang khilafah Islamiyyah sebagai kompetitor kekuasaan yang mengancam kedudukan mereka, bahkan kedaulatan negara mereka, sehingga harus disingkirkan.
Sikap khilafahfobia seperti itu muncul sebagai akibat ketidakmengertian mereka tentang hakikat khilafah Islamiyyah. Di samping adanya kelompok umat Islam yang mengkampanyekan sistem khilafah secara vulgar dengan statement penghapusan semua pemerintahan negara Islam, peniadaan semua batas wilayah teritorial antar-negara Islam, pelenyapan kedaulatan setiap negara Islam, pemberangusan hak-hak kebangsaan semua negeri Islam, hingga penolakan terhadap semua produk budaya lokal negeri Islam secara membabi buta. Kelompok ini sangat eksklusif, menafsirkan khilafah Islamiyyah secara hitam-putih. Penuh semangat tapi tidak realistis. Penuh energi tapi jalan sendiri. Penuh potensi tapi terlalu ambisi.”
Berdasarkan pernyataannya tersebut tampak bahwa spirit di balik seruan khilafah Islamiyah yang disuarakan Habib Rizieq adalah terbentuknya masyarakat Islam internasional untuk menyaingi hegemoni masyarakat internasional yang dikuasai Yahudi maupun Nasrani. Sesungguhnya, dengan kata lain, inilah kesungguhan Habib Rizieq untuk menggalang ukhuwah Islamiyah dalam bentuk yang lebih konkret.
Namun demikian, sementara pihak ada yang memandang Habib Rizieq Syihab termasuk tokoh yang gencar menyuarakan berdirinya khilafah Islamiyah, yang notabene dapat dimaknai mempermasalahkan keabsahan NKRI. Benarkah demikian?
Islam sejak Dulu
Bulan Mei 2011, di kantor ICIS (International Conference of Islamic Scholars), yang diketuai mantan ketua umum PBNU K.H. A. Hasyim Muzadi, hadir sejumlah jurnalis media asing asal Amerika Serikat yang tergabung dalam International Reporting Program, sebuah kegiatan yang melibatkan para jurnalis di AS untuk mendapatkan informasi soal Islam di Indonesia secara langsung dari narasumbernya.
Yang menarik, ketika mereka bertanya soal negara Islam, Habib Rizieq menjelaskan, sebelum Indonesia merdeka, yakni sejak bangsa ini dijajah, lalu merdeka hingga saat ini, Indonesia sudah merupakan negara Islam. FPI, sebagai organisasi Islam Ahlusunnah wal Jama’ah (Aswaja), atau Sunni, berpegang pada definisi negara Islam yang berada pada kitab-kitab kuning. Di dalam pemahaman Aswaja disebutkan, setiap negeri yang dikuasai oleh umat Islam, berpenduduk mayoritas Islam, dipimpin oleh orang Islam, lalu umat Islam dengan bebas melaksanakan ibadahnya, dan sebagian besar syari’atnya bisa dijalankan, itu sudah dikategorikan sebagai negara Islam.
“Jadi bagi FPI, tidak perlu lagi mendirikan Negara Islam Indonesia, karena negara ini adalah negara Islam yang bernama Republik Indonesia, yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, berbendera Merah Putih, yang sekarang ini dipimpin oleh Presiden SBY. Terpenting, sebagian besar hukum Islam sudah berjalan di republik ini, dan itu sudah bisa dibuktikan secara ilmiah,” kata Habib Rizieq, tegas.
Kabarnya, pernyataan Habib Rizieq tersebut menyisakan pertanyaan yang menggelayut di hati beberapa aktivis gerakan Islam, yang mempertanyakan “Mungkinkah Habib Rizieq telah berubah dalam memandang Islam itu sendiri?”.
Penjelasan atas pernyataan tersebut dijabarkan secara gamblang oleh Habib Rizieq dalam situs resmi FPI, www.fpi.or.id dalam tulisan bertajuk INI, Bukan NII. Berikut petikan dari sebagian pernyataannya:
INI, Bukan NII
Bagi gerakan Islam, sebenarnya Indonesia secara de jure maupun de facto sejak kemerdekaannya sudah menjadi “negara Islam”, dengan fakta dan data antara lain:
Pertama, pembukaan UUD 1945 tertulis “Atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa”.
Kedua, sesuai Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959 bahwa Pancasila dan UUD 1945 dijiwai Piagam Jakarta, yang berintikan syari’at Islam.
Ketiga, mayoritas penduduk Indonesia adalah umat Islam.
Keempat, semua presiden dan wakil presiden yang pernah memimpin Indonesia adalah dari kalangan umat Islam.
Kelima, sebagian besar hukum Islam yang berkaitan dengan perorangan, seperti shalat, zakat, puasa, dan haji, yang berkaitan dengan rumah tangga, seperti nikah, thalaq, dan warisan, yang berkaitan dengan kehidupan sosial-kemasyarakatan, seperti pendidikan, perniagaan, dan perbankan, sudah berjalan dengan leluasa di Indonesia. Dakwah Islam pun di Indonesia bebas dan semarak.
Keenam, sebagian lainnya dari hukum Islam yang belum berjalan, seperti hukum pidana, tidak ada larangan pemberlakuannya dalam konstitusi Indonesia, sehingga penerapannya tetap bisa diperjuangkan secara konstitusional.
Ketujuh, sebelum penjajah datang, di Indonesia sudah berdiri “kerajaan-kerajaan Islam”, yang hingga kini masih tetap berdiri di seantero Nusantara walaupun wewenangnya sudah dipangkas habis.
Kedelapan, Indonesia adalah anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI).
Kesembilan, Barat dan Timur menganggap Indonesia sebagai negara Islam.
Kesepuluh, di Istana Negara ada masjid. Alhamdulillah.
Karenanya, isu NII tidak boleh membuat langkah perjuangan umat Islam terhenti. Kini, mari kita kampanyekan secara besar-besaran bahwa Indonesia negara Islam (INl), yang harus diisi dengan hukum Islam. Caranya, semua hukum Islam yang sudah bisa berjalan, wajib kita jalankan sepenuhnya; sedang yang belum bisa berjalan, wajib kita perjuangkan penerapannya. Tiada hari tanpa perjuangan penerapan syari’at Islam.
Ingat, negara kita adalah negara Islam, namanya Republik Indonesia, benderanya Merah Putih, dasar negaranya Pancasila dan UUD 1945, presidennya saat ini adalah SBY, hukumnya hukum Islam tapi belum sempurna. Jika kita tidak menyatakan Indonesia sebagai negara Islam, nanti ada kelompok lain yang mengklaim Indonesia sebagai “negaranya”.
Demikian cara pandang Habib Rizieq terhadap NKRI, yang secara implisit menyemburatkan semangat yang besar untuk mengisi hari-hari republik tercinta ini dengan penerapan syari’at Islam.
Hemat kami, inilah kata kuncinya: penerapan syari’at Islam. Diterapkannya syari’at Islam di setiap denyut nadi kehidupan penduduk NKRI ini memang sesuatu yang esensial. Mengenai caranya, tentunya para ulama kita memiliki cara yang berbeda-beda sesuai warna dan lahan dakwah mereka masing-masing dalam mempengaruhi kebijakan negara.
Ke-Bhinneka-an Sudut Pandang
Hampir senada dengan yang dinyatakan Habib Rizieq, Gus Ishom Hadzik (alm.) dalam salah satu tulisannya bertajukFiqh Siyasah dan Budaya Politik NU menuliskan, “Menjelang Muktamar NU di Banjarmasin, muncul persoalan. Yaitu, bagaimana sesungguhnya status kenegaraan Indonesia pasca-kemerdekaan. Sebab, dengan mengambil Pulau Jawa sebagai basis Indonesia, kekuasaan pemerintah yang dianggap sah menurut syari’at Islam dimulai dari Kerajaan Demak, lalu Pajang, dan Mataram Islam, sehingga ketika itu Indonesia layak menyandang status Darul Islam.
Sementara itu, sejak kedatangan penjajah Belanda, lalu Inggris, dan disusul Jepang, kekuasaan pemerintah penjajah yang kafir itu tak diakui dan otomatis status Darul Islam lenyap selama ratusan tahun. Mungkinkah status Darul Islam itu pulih kembali pasca-kemerdekaan? Ternyata berdasarkan fatwa Mufti Hadhramaut Syaikh Muhammad Sholih Ar Rois dalam suratnya yang dikirim kepada para kiai NU di Jawa, status Darul Islam tetap melekat pada negara Indonesia dengan merujuk pada kaidah al ashlu baqa’u ma kana ala ma kana, yang berarti, selama tak ada perubahan mendasar, status yang berlaku sebelumnya tetap dipertahankan.
Maka, Muktamar NU pun menetapkannya. Cuma saja, untuk menghargai bangsa Indonesia yang majemuk dan berdasarkan Pancasila, Muktamar NU memutuskan mengubah istilah Darul Islam, yang bermakna negara Islam, menjadi Darul Salam, yang berkonotasi negara yang damai. Dengan begitu, perasaan terancam dari agama lain dapat dihindarkan. Karena itu, NU menerima asas tunggal Pancasila dan menetapkan negara kesatuan Republik Indonesia sebagai bentuk yang final.”
Di lain sisi, tak dapat dipungkiri, betapa keberhasilan pergerakan kemerdekaan RI tak lepas dari peran besar umat Islam, yang dimotori oleh para ulamanya, baik dari kalangan tradisionalis maupun modernis, seperti K.H. M. Natsir. Tokoh besar satu ini meninggalkan catatan sejarah yang cukup penting dan tak boleh dilupakan atas jasanya mempersatukan negara-negara boneka buatan pemerintah kolonial Belanda dengan mosinya yang terkenal, Mosi Integral Natsir, menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sedemikian fenomenalnya mosi yang dikeluarkan Pak Natsir, demikian panggilan akrabnya, di kemudian hari mosi itu disebut-sebut sebagai proklamasi kemerdekaan Indonesia yang kedua setelah proklamasi 17 Agustus 1945.
Sampai di sini kita dapat memahami mengapa sekian banyak ulama kerap menyimpulkan bahwa NKRI adalah pilihan final dan paling realistis untuk kondisi masyarakat Indonesia, meski dipandang dengan berbagai cara pandang dan penyebutan yang berbeda. Lantaran sejumlah faktor yang melekat, negara yang secara resmi menempatkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara ini, ada yang menyebutnya sebagai Darul Islam, Darussalam, negara Pancasila, dan sebagainya.
Nyatanya, Pancasila pun sarat dengan nilai-nilai agama yang dianut mayoritas penduduk negeri ini, yang terutama terwujud, dan ini sulit dipungkiri, dalam sila pertama Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan UUD ’45, sebagaimana disebutkan dalam Dekrit Presiden Soekarno yang disampaikannya pada upacara resmi di Istana Merdeka tanggal 5 Juli 1959, dijiwai oleh Piagam Jakarta, yang di dalamnya termuat kata-kata ”dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Pemerintahan yang Sah
Alhasil, dari sudut pandang agama, pemerintahan Indonesia adalah pemerintahan yang sah. Pandangan ini, setidaknya, didasarkan pada dua alasan:
Pertama, presiden Indonesia dipilih langsung oleh rakyat. Menurut Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa an-Nihayah (cet. 2001 hlm. 204), sistem pemilihan langsung oleh rakyat sama dengan pengangkatan Sayyidina Ali KW untuk menduduki jabatan khalifah.
Kedua, presiden terpilih Indonesia dilantik oleh MPR, sebuah gabungan dua lembaga tinggi, DPR dan DPD, yang dapat disepadankan dengan ahlu al-halli wa al-‘aqdidalam konsep Al-Mawardi dalam Al-Ahkam as-Sulthaniyyah.
Keabsahan pemerintahan Indonesia bukan hanya dapat dilihat dari sudut sistem pemilihan dan mekanisme pelantikan presiden, namun juga bisa dilihat dari terpenuhinya maqashid syar’iyyah (tujuan syar’i) dari imamah (pemerintahan) Indonesia, dalam rangka menjaga kesejahteraan dan kemashlahatan umum. Terkait dengan ini, Imam Ghazali mengungkapkan dalam Al-Iqtishad fi al-‘Itiqad (cet. 1988 hlm. 147), “Dengan demikian tidak bisa dipungkiri kewajiban mengangkat seorang pemimpin (presiden) karena mempunyai manfaat dan menjauhkan mudharat di dunia ini.”
Dalam konteks ini, pemerintahan Indonesia telah memenuhi tujuan syar’i di atas dengan adanya institusi pemerintahan, kepolisiaan, pengadilan, dan sebagainya. Alhasil, menurut Ahlussunnah wal Jama’ah, pemerintahan Indonesia adalah pemerintah yang sah. Siapa pun tidak bisa mengingkarinya.
Karena itu, mengkonversi sistem pemerintahan dengan sistem apa pun, termasuk sistem khilafah sentral dengan memusatkan kepemimpinan umat Islam di dunia pada satu pemimpin, adalah tidak diperlukan. Apalagi jika konversi sistem itu akan menimbulkan mudharat yang lebih besar, seperti timbulnya chaos dalam bidang sosial, politik, ekonomi, dan keamanan. Lantaran timbulnya kevakuman pemerintahan atau pemerintah yang tidak mendapatkan dukungan rakyat luas, sehingga membuka peluang perang saudara antar-anak bangsa (Al-Ghazali dalam Al-Iqtishad fi al-I‘Itiqad hlm. 147).
Bagi Al-Ghazali, ketertiban merupakan keniscayaan bagi keberlangsungan kehidupan beragama. Dan kestabilan kehidupan beragama sangat penting untuk mencapai kesejahteraan dunia-akhirat. Adanya sebuah pemerintahan adalah suatu prasyarat penting bagi berlangsungnya hukum-hukum Allah SWT untuk ditegakkan di muka bumi. Tanpa pemerintahan, kehidupan masyarakat tidak dapat diwujudkan dengan baik.
Rumah Bersama
Ketika upaya menegakkan khilafah Islamiyah menjadi tidak realistis, konflik horizontal yang dahsyat saat menuju ke sana sangat mungkin terjadi lebih dulu. Bukan hanya antara umat Islam dan non-muslim, tapi boleh jadi sesama umat Islam sendiri, sebagaimana sejarah telah mengajarkan kepada kita semua ihwal hal itu. Dalam hal ini, ulama pun sering memajukan sebuah kaidah, dar’ul mafasid muqaddam ’ala jalbil mashalih, mencegah suatu kerusakan didahulukan dari melakukan suatu kebaikan.
Maka negara apa pun namanya, republik, kerajaan, kesultanan, keamiran, adalah boleh selama di sana syari’at tegak dan aturan Islam berjalan. Peradaban Islam dan tegaknya syari’at bukan semata-mata dibangun atas satu sistem baku, tetapi dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada. Sebagai ganti kekhilafahan, amat baik bila menyatukan umat Islam dibangun atas dasar visi dan misi bersama menghadapi musuh-musuh Islam. Maka jalan tengahnya adalah dengan memperkuat lembaga-lembaga internasional umat Islam, seperti OKI dan Rabithah Alam Islami, atau organisasi apa pun yang menggambarkan umat yang bersatu. Bila di dunia sekarang ada Uni Eropa, NATO, dan sebagainya, negara-negara Islam semestinya mempunyai persekutuan serupa yang lebih solid.
Sedangkan, negara yang berdiri tahun 1945 ini adalah tanggung jawab umat Islam untuk memajukan, mengurus, dan memeliharanya. Negara kita adalah rumah kita juga. Umat Islam yang mayoritas di Indonesia amat berhak membangun bangsa ini berdasarkan nilai-nilai yang mereka anut. Negara, sebagaimana halnya rumah, harus dipelihara, dibangun, dibersihkan, dan memiliki bekal yang banyak untuk keluarga dan anak-cucu di kemudian hari. Inilah alasan kenapa para ulama kita dulu sangat menyayangi negeri ini.
Mereka yang seagama adalah saudara kita, sementara yang tidak segama adalah tetangga kita. Masing-masing mempunyai hak dan kewajiban yang harus diperhatikan bersama. Piagam Madinah menggambarkan ukhuwah Islamiyah, diniyah, dan wathaniyah yang amat prima, dan Piagam Jakarta pun menggambarkan cita-cita Piagam Madinah yang ideal itu, walaupun belum dapat dilaksanakan secara baik sampai saat ini.
Namun, negara madani dengan sistem masyarakat sipilnya diharapkan dapat menggambarkan perilaku masyarakat Madinah awal. Menjadi tugas kita bersama untuk dapat mewujudkannya. Sebab, ketika itu terwujud, kemakmuran akan dinikmati secara merata oleh segenap penduduk negeri ini.
Terlepas dari itu semua, lalu bagaimana seharusnya kita memandang tema khilafah? Semoga tulisan yang berisi mau’izhah Habib Umar Bin Hafidz (Hadhramaut) saat kunjungannya di Indonesia beberapa tahun silam berikut ini dapat menjadi jawaban yang jernih atas pertanyaan itu.
Wallahu a’lam bish shawab.