Mengkritisi Wacana HTI : NKRI, Warisan para Mujahid - ISLAM NKRI
Headlines News :

Text Widget

AswajaNU
//
Home » » Mengkritisi Wacana HTI : NKRI, Warisan para Mujahid

Mengkritisi Wacana HTI : NKRI, Warisan para Mujahid

Written By Unknown on Jumat, 13 September 2013 | 02.36





Sistem kekhalifahan, yang dikenal sampai masa kekhalifahan Utsmaniyah, hanya salah satu bentuk yang dapat dibenarkan, tetapi bukan satu-satunya bentuk baku yang ditetapkan. Jika perkembangan pemikiran manusia atau kebutuhan masyarakat menuntut bentuk lain, itu dibenarkan pula oleh Islam, selama nilai-nilai yang diamanatkan maupun unsur-unsur perekatnya tidak bertentangan dengan Islam.
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang kemerdekaannya diraih dengan air mata, darah, dan nyawa, adalah negeri yang sangat kaya akan sumber daya alam, baik yang berupa energi, tanaman keras, ta­naman pangan, maupun keragaman ha­yati yang sangat dibutuhkan umat ma­nusia. Semua itu adalah amanat dari Allah SWT yang wajib di­syukuri. Umat Islam Indonesia perlu be­nar-benar me­ma­hami segi-segi ke­ragam­an atau ke­bhinekaan bangsa ini. Dalam kebhine­ka­an bangsa seperti itulah umat Islam dapat menemukan lahannya untuk berdakwah dalam arti yang seluas-luas­nya.
Islam mengakui kebhinekaan dan mem­berikan dasar-dasar wawasan ke­bangsaan yang patut dikembangkan agar umat dapat menjadi kader teladan bang­sa di lingkungannya. Pengakuan dan penghormatan atas kebhinekaan dan ke­bangsaan sepatutnya diwujudnyatakan melalui karya nyata kalangan penggiat dak­wah Islam.
Piagam Madinah, yang di­prakarsai Nabi Muhammad SAW, berikut kajiannya selayaknya terus dimasya­rakatkan pula, terutama melalui para pel­ajar Islam, agar dapat dipahami benar betapa Rasulullah SAW memiliki naluri kenegaraan dan kebangsaan yang prima dan betapa besar kontribusi Islam bagi konstitusi-konsti­tusi negara modern sekarang. Pe­ma­ham­an tentang hal itu juga berguna agar orang tak lagi gamang menyikapi tuntutan dikembalikannya khilafah Islam­iyah di atas muka bumi ini.
Secara teoretis dan harfiyah, khilafah me­mang konsep penting dalam tata po­litik menurut agama Islam. Dan pada kenyataannya, hampir semua kitab fiqih senantiasa mengutip tema itu untuk me­rujuk pada konteks perpolitikan Islam. Dalam analisis historis pada beberapa tulisan, para ulama salaf, baik dunia mau­pun Nusantara, disebut-sebut sebagai pe­nyokong pendapat wajibnya khilafah Islamiyah didirikan.
Berjuta pertanyaan seakan mengge­layut di benak kita. Kenapa gerakan atas ide ini baru mun­cul sekarang? Kenapa, contohnya da­lam konteks Indonesia, ulama-ulama di masa kemerdekaan menyepakati berdiri­nya Negara Nasional Indonesia, dan bu­kan Negara Interna­sional Islam saja? Mungkinkah mereka tidak membaca kitab fiqih, yang juga di­baca oleh dai-dai pe­nyokong ide khilafah sekarang? Kalau sama-sama pernah membaca dan meng­kaji dalam intensitas yang barangkali sejajar, kenapa hipotesis dan resep yang ditawarkan berbeda? Atau­kah ulama-ulama zaman dulu me­mang berada da­lam posisi yang terintimi­dasi, sehingga akhirnya ide khilafah harus mereka le­pas? Tapi kenapa harus me­reka lepas be­gitu saja kalau khilafah memang benar-benar doktrin mendasar dalam agama Islam, padahal Kiai Hasyim Asy’ari saja sampai rela masuk penjara gara-gara menolak membungkuk ke arah Tenno Haika? Kenapa pula para ulama sepuh Nusantara tempo dulu itu harus repot-repot mempertahankan kemerde­ka­an NKRI dari ancaman agresi pen­jajah?
Sampai di sini, mungkinkah ada upaya un­tuk memotong garis historis di sini? Wallahu a’lam. Apakah ada kepen­tingan-kepentingan tertentu di balik wa­cana ini? Lagi-lagi, wallahu a’lam. Mereka yang menuntut khilafah juga manusia, yang mungkin bisa bersalah dan lupa. Rasanya, ada se­jarah yang diputus. Ada tra­disi yang dilupakan. Ada ulama pe­nyam­bung yang diperlakukan acuh tak acuh. Dan, pada akhirnya, ada ketidak­seim­bangan dalam tuntutan atas khilafah Islam­iyah itu.
Rekaman Sejarah
Di antara dalil yang banyak dikutip oleh para ”pejuang khilafah” belakangan ini adalah sebuah hadits yang maknanya, ”Jika dibai’at dua orang khalifah, bunuh­lah yang terakhir dari keduanya.”
Bagaimana rekaman sejarah soal ini? Sejarah mencatat bahwa hanya di era Khu­lafa’ Rasyidin terdapat satu khalifah untuk umat Islam. Dua khalifah pada satu waktu bahkan sudah terjadi di era saha­bat, sejak Muawiyah mendirikan kekhali­fahan tandingan terhadap Al-Hasan, cu­cunda Rasul, yang kemudian menyerah­kannya kepada Muawiyah demi perda­maian. Sejak itu berdirilah Dinasti Umay­yah I (661-750) dan kemudian berlanjut pada Dinasti Abbasiyah (750-1258).
Tahun 909, ketika Abbasiyah masih ber­kuasa, telah berdiri juga kepemim­pin­an umat di Mesir oleh Fathimiyyah. Di masa Abbasiyah, Cordova (Andalusia) juga memisahkan diri dan punya kekhali­fahan sendiri (Umayyah II; 780-1031). Saat Abbasiyah dan Umayyah II masih berkuasa, Dinasti Idrisiyyah juga berdiri di Maroko (789-926). Pada masa Fathi­miy­­yah di Mesir (909-1171), juga berdiri ke­kuasaan Buyids di Iran-Irak (945-1055). Buyids hilang, lalu muncul Saljuk (1055-1194), sementara Fatimiyah ma­sih ber­kuasa di Mesir sampai 1171. Ayubid me­neruskan Fathimiyyah de­ngan kekuasaan meliputi Mesir dan Syria (1169-1260). Simak pula masa ber­kua­sanya Dinasti Mamluk (1250-1517), Ottoman (1280-1922), Safavid (1507-1722), Mughal (1526-1857). Duh, kom­pleks sekali.
Sejarah menunjukkan, sejak era khu­lafa’ rasyidun ternyata khilafah itu tidak satu, bisa ada dua atau tiga khalifah pada saat yang bersamaan. Lalu, siapa yang harus dipenggal lehernya dan siapa yang memenggal? Mana yang sah dan mana yang harus dibunuh?
Sejarah mencatat, dalam periode khi­lafah pasca-khulafa’ rasyidin telah ter­jadi perubahan aturan pengangkatan kha­lifah seperti yang dipraktekkan sebe­lumnya, perubahan cara hidup para khali­fah, perubahan kondisi baitul mal, hilang­nya kemerdekaan mengeluarkan penda­pat, hilangnya kebebasan peradilan, ber­akhirnya pemerintah berdasarkan syura, munculnya kefanatikan kesukuan, dan hilangnya kekuasaan hukum.
Sejarah itu seperti cermin: ada yang baik dan ada yang buruk. Kita harus me­nyikapinya secara proporsional. Jangan pula buruk muka cermin dibelah. Di sini ditampilkan sisi buruknya, agar kita tidak hidup dalam angan-angan atau nostalgia masa lalu tanpa mengetahui sisi buruk masa lalu itu.
Ada kesan bahwa dengan memuncul­kan jargon khilafah is the only solution, kita melupakan bahwa sebenarnya ba­nyak kisah kelam (sebagaimana juga ba­nyak kisah ”keemasan”) dalam masa ke­khilafahan itu. Jadi, mendirikan kembali khi­lafah tidak berarti semua problem akan hilang dan lenyap. Dengan semakin ba­nyaknya jumlah populasi umat Islam dan semakin beragamnya pemahaman ke­aga­maan di tengah umat, bisa-bisa ada sepuluh orang yang bersikeras merupa­kan khalifah sejati umat ini kalau ide khi­lafah itu dibenarkan untuk kondisi se­karang.
Karenanya, sejumlah ulama bela­kang­an berusaha ”mentakwil” makna ha­dits di atas. Mereka menyadari bahwa si­tuasi sudah berubah, dan Islam sudah meluas sampai ke pelosok kampung. Per­nyataan Nabi di atas tidak bisa di­lepaskan dari konteks traditional state di Madinah, yang resources, jumlah pendu­duk, dan luas wilayah masih sangat ter­batas.
Resolusi Jihad untuk Teguhnya Republik
“Dan kita yakin, Saudara-sudara, pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita. Sebab, Allah selalu ber­ada di pihak yang benar. Percayalah, sau­dara-saudara, Tuhan akan melin­dungi kita sekalian. Allahu Akbar...! Allahu Akbar...! Allahu Akbar...! Merdeka!”
Itulah sebagian isi pidato Bung Tomo yang fenomenal dan diakhiri takbir yang meng­getarkan gelora jihad arek-arek Surabaya. Bung Tomo mungkin tak per­nah menjadi santri, “Tetapi diketahui me­minta nasihat kepada Kiai Hasyim Asy’ari,” tulis Martin van Bruinessen dalam NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru.
Namun, bagi warga nahdliyin, ada se­ruan lain yang lebih hebat dan membang­kitkan semangat juang mereka, yakni Re­solusi Jihad –monumennya diresmikan pada 23 Oktober 2011 di Surabaya untuk mengenang peran ulama dalam memper­juangkan kemerdekaan.
“Deklarasi ini,” tulis van Bruinessen, “yang kemudian terkenal sebagai Reso­lusi Jihad, tidak mendapat perhatian yang selayaknya dari para sejarawan. Resolusi itu menunjukkan bahwa NU mampu me­nampilkan diri sebagai kekuatan radikal yang tak disangka-sangka.”
NU tergerak menyatakan Resolusi Ji­had setelah melihat sejumlah daerah ja­tuh ke tangan Inggris. Akhir September 1945, atas nama Netherlands Indies Civil Administration (NICA), Inggris menduduki Jakarta. Pertengahan Oktober, pasukan Jepang merebut kembali beberapa kota di Jawa dan menyerahkannya kepada Inggris. Beberapa hari sebelum Resolusi Jihad, Bandung dan Semarang diduduki Inggris setelah melalui pertempuran he­bat. Demikian juga Surabaya, keda­tang­an pasukan Inggris pada 25 Oktober di­sambut dengan gelisah. Sementara itu pe­merintah Republik Indonesia, yang baru saja memproklamasikan kemerde­kaannya, masih menahan diri untuk me­lakukan perlawanan dan mengharapkan adanya penyelesaian secara diplomatik.
“Resolusi Jihad merupakan penga­kuan terhadap legitimasi pemerintah Republik Indonesia sekaligus kritik tidak langsung terhadap sikap pasifnya,” tulis Van Bruinessen. Agaknya. NU meng­inginkan seruan jihad langsung diperin­tahkan oleh pemerintah Republik Indo­nesia. Namun, karena pemerintah pasif, NU melalui Resolusi Jihad-nya “memo­hon dengan sangat kepada pemerintah Republik Indonesia supaya menentukan sikap dan tindakan yang nyata serta se­padan... supaya memerintahkan me­lanjutkan perjuangan bersifat ‘Sabilillah’ untuk tegaknya negara Republik Indo­nesia merdeka dan agama Islam.”
“Resolusi jihad itu,” tulis Zuhairi Mis­rawi dalam Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, “memberi rangsangan motivasi yang amat kuat kepada para pemuda Islam untuk berjihad membela negara.”
Pada 21 dan 22 Oktober 1945, de­legasi Nahdlatul Ulama se-Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya. Perte­mu­an yang dipimpin langsung oleh pen­diri NU, Kiai Hasyim Asy’ari, itu menyata­kan perjuangan kemerdekaan sebagai jihad atau perang suci, dan menentang kem­balinya Belanda adalah kewajiban setiap muslim, fardhu ‘ain. Pertemuan itu menghasilkan Resolusi Jihad, yang me­nyatakan, “Pihak Belanda (NICA) dan Jepang telah banyak menjalankan ke­jahatan dan kekejaman, dengan maksud melanggar kedaulatan negara dan aga­ma, serta ingin kembali menjajah. Di be­berapa tempat telah terjadi pertempuran yang sebagian besar dilakukan oleh umat Islam yang merasa wajib menurut hukum agamanya. Karenanya umat Islam dan alim ulama di seluruh Jawa-Madura me­miliki hasrat yang besar un­tuk memper­tahankan dan menegakkan agama dan kedaulatan negara Republik Indonesia.”
Menurut Van Bruinessen, pasukan-pa­sukan nonreguler yang bernama Sa­bilillah – nama ini merujuk kepada Perang Suci – rupanya dibentuk sebagai respons langsung atas resolusi ini. Komandan tertinggi Sabilillah adalah pemimpin NU, Kiai Masykur dari Malang, yang kelak menjadi politisi terkenal dan menjabat menteri agama.
Resolusi Jihad juga dilontarkan dalam Muktamar Umat Islam Indonesia di Yog­yakarta pada 7-8 November 1945, yang diselenggarakan oleh Masyumi, yang NU menjadi anggotanya –sayangnya, muk­tamar ini lebih dikenal hanya sebagai deklarasi pembentukan Partai Masyumi.
Seperti diberitakan Warta Indonesia, 17 November 1945, resolusi tersebut me­nyatakan, “Tiap bentuk penjajahan ada­lah kezhaliman yang melanggar peri­kemanusiaan dan diharamkan oleh Islam. Untuk membasmi tindakan imperialisme, setiap muslim wajib berjuang dengan jiwa raga bagi kemerdekaan negara dan aga­manya. Untuk itu, harus memperkuat umat Islam demi berjihad fisabilillah.”
Semangat membela agama dan ta­nah air yang dipicu oleh Resolusi Jihad kemudian diperkuat lagi dengan pidato Kiai Hasyim Asy’ari, pada pembukaan Muktamar NU ke-16, dan, yang pertama setelah perang, pada 26-29 Maret 1946 di Purwokerto, “... sesungguhnya pendiri­an umat adalah bulat untuk memper­tahankan kemerdekaan dan membela ke­daulatannya dengan segala kekuatan dan kesanggupan yang ada pada me­reka, tidak akan surut seujung rambut pun.”
Bagi NU, kiblat perjuangan kemerde­kaan adalah Hadhratusy Syaikh K.H. M. Hasyim Asy’ari. Sejarah pun dengan amat jelas mencatat begitu besarnya pe­ran kalangan NU di bawah kepemim­pin­an Hadhratusy Syaikh dalam mendirikan dan mempertahankan NKRI.
Ada sementara tulisan yang menyim­pulkan bahwa sejumlah ulama Nusan­tara terdahulu turut men­jadi penyokong gerakan khilafah yang mendunia. Nyata­nya itu hanya tafsiran saat memanfaatkan kalimat-kalimat yang umum untuk keper­luan khusus penulis­nya. Persis sama de­ngan cara mereka menyikapi nash-nash agama atau teks-teks keagamaan dalam kitab-kitab karya para ulama salaf. Buk­tinya, selain banyaknya fakta sejarah yang menunjukkan peran ulama dalam merebut kemerdekaan untuk ber­dirinya Republik Indonesia, refleksi sing­kat dari Peristiwa 10 November di atas merupa­kan dalil tak terbantahkan bahwa ulama pun kemudian mati-matian memper­ta­han­­kan­nya.
Kalimat-kalimat umum seperti apa? Contohnya, ketika ada istilah “khalifah”, “imam”, “amir”, atau “sulthan”, itu serta merta digeneralisir maknanya sebagai “pemimpin dalam doktrin khilafah Islam­iyah”. Atau ketika ada kata-kata “persatu­an umat Islam”, atau “umat yang satu”, lagi-lagi maknanya pun dipersempit se­mata-mata dalam konteks sistem kekhi­lafahan sedunia.
Persatuan, bukan Penyatuan
Dalam karyanya, Wawasan Al-Qur’an, Prof. Dr. Quraish Shihab mengulas peri­hal kebangsaan saat dikaitkan dengan tema penyatuan umat di bawah bendera khilafah Islamiyah. Berikut sebagian ulasan­nya:
Tidak dapat disangkal bahwa Al-Qur’an memerintahkan persatuan dan kesatuan. Sebagaimana secara jelas pula kitab suci ini menyatakan, “Sesung­guhnya umatmu ini adalah umat yang satu.” – QS Al-Anbiya’ (2l): 92 dan Al-Mu’minun (23): 52.
Pertanyaan yang dapat saja muncul berkaitan dengan ayat ini adalah:
a) Apakah ayat ini dan semacamnya mengharuskan penyatuan seluruh umat Islam dalam satu wadah kenegaraan?
b) Kalau tidak, apakah dibenarkan adanya persatuan/kesatuan yang diikat oleh unsur-unsur yang disebutkan di atas, yakni persamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarah?
Yang harus dipahami pertama kali adalah pengertian dan penggunaan Al-Qur’an terhadap kata “umat”. Kata ini terulang 51 kali dalam Al-Qur’an, dengan makna yang berbeda-beda.
Ar-Raghib Al-Isfahani, pakar bahasa yang menyusun kamus Al-Qur’an, Al-Mufradat fi Gharib Al-Qur’an, menjelas­kan bahwa umat adalah “kelompok yang dihimpun oleh sesuatu, baik persamaan agama, waktu, atau tempat, baik penge­lompokan itu secara terpaksa maupun atas kehendak sendiri.”
Memang, tidak hanya manusia yang berkelompok dinamakan umat, bahkan binatang pun demikian. “Dan tiadalah binatang-binatang melata yang ada yang di bumi, tiada juga burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, kecuali umat-umat seperti kamu... “ – QS Al-An’am (6): 38.
Jumlah anggota suatu umat tidak di­jelaskan oleh Al-Qur’an. Ada yang ber­pendapat, minimal empat puluh atau se­ratus orang. Tetapi, sekali lagi Al-Qur’an pun menggunakan kata “umat” bahkan un­tuk seseorang yang memiliki sekian banyak keistimewaan atau jasa, yang biasanya hanya dimiliki oleh banyak orang. Nabi Ibrahim AS, misalnya, disebut sebagai umat oleh Al-Qur’an surah An-Nahl (16): 20 karena alasan itu, ”Sesung­guhnya Ibrahim adalah umat (tokoh yang dapat dijadikan teladan) lagi patuh ke­pada Allah, hanif dan tidak pernah ter­masuk orang yang mempersekutukan (Tuhan).” – QS An-Nahl (16): 120.
Kalau demikian, dapat dikatakan bah­wa makna kata “umat” dalam Al-Qur’an sangat lentur, dan mudah menyesuaikan diri. Tidak ada batas minimal atau mak­simal untuk suatu persatuan. Yang mem­batasi hanyalah bahasa, yang tidak me­nyebutkan adanya persatuan tunggal.
Di sisi lain, dalam Al-Qur’an ternyata ditemukan sembilan kali kata “umat” yang digandengkan dengan kata “wahidah”, se­bagai sifat umat. Tidak sekali pun Al-Qur’an menggunakan istilah “wahdat al-ummah” atau “tauhid al-ummah” (kesatu­an/penyatuan umat). Karena itu, sungguh tepat analisis Mahmud Hamdi Zaqzuq, mantan dekan  Fakultas  Ushuluddin Al-Azhar Mesir, yang disampaikan pada per­temuan Cendekiawan Muslim di Aljazair 1409 H/1988 M, bahwa Al-Qur’an mene­kankan sifat umat yang satu, dan bukan pada penyatuan umat. Ini juga berarti bah­wa yang pokok adalah persatuan, bukan penyatuan.
Perlu pula digarisbawahi, makna umat dalam konteks tersebut adalah pe­meluk agama Islam. Sehingga ayat ter­sebut pada hakikatnya menyatakan bah­wa agama umat Islam adalah agama yang satu dalam prinsip-prinsip (ushul)-nya, tiada perbedaan dalam aqidahnya, walaupun dapat berbeda-beda dalam perincian (furu’) ajarannya. Artinya, kitab suci ini mengakui kebhinekaan dalam ketunggalan.
Ini juga sejalan dengan kehendak Ilahi, antara lain yang dinyatakan-Nya dalam Al-Qur’an surah Al-Maidah (5): 48, “Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja).” Tetapi itu tidak dikehendaki-Nya. Seba­gai­mana terpahami dari perandaian kata lauw, yang oleh para ulama dinamai harf imtina’ limtina’, atau, dengan kata lain, mengandung arti kemustahilan.
Kalau demikian, tidak dapat dibukti­kan bahwa Al-Qur’an menuntut penyatu­an umat Islam seluruh dunia pada satu wadah persatuan saja dan menolak pa­ham kebangsaan.
Jamaluddin Al-Afghani, yang dikenal se­bagai penyeru persatuan Islam (Liga Islam atau Pan-Islamisme), menegaskan, idenya itu bukan menuntut agar umat Is­lam berada di bawah satu kekuasaan, te­tapi hendaknya mereka mengarah ke­pada satu tujuan, serta saling membantu un­tuk menjaga keberadaan masing-ma­sing.
“Janganlah kamu menjadi seperti me­reka yang berkelompok-kelompok dan ber­­selisih setelah datang penjelasan ke­pada mereka ...” – QS Ali ‘Imran (3): 105.
Kalimat “dan berselisih” digandeng­kan dengan “berkelompok” untuk meng­isya­ratkan bahwa yang terlarang adalah pengelompokan yang mengakibatkan per­­selisihan.
Kesatuan umat Islam tidak berarti di­leburnya segala perbedaan atau ditolak­nya segala ciri/sifat  yang dimiliki oleh per­orangan, kelompok, asal keturunan, atau bangsa.
Kelenturan kandungan makna umat se­perti yang dikemukakan terdahulu men­dukung pandangan ini. Sekaligus mem­buktikan bahwa dalam banyak hal Al-Qur’an hanya mengamanatkan nilai-nilai umum dan menyerahkan kepada masya­rakat manusia untuk menyesuaikan diri dengan nilai-nilai umum itu. Ini merupa­kan salah satu keistimewaan Al-Qur’an dan salah satu faktor kesesuaiannya de­ngan setiap waktu dan tempat.
Dengan demikian, terjawablah perta­nyaan pertama itu, yakni Al-Qur’an tidak mengharuskan penyatuan seluruh umat Islam ke dalam satu wadah kenegaraan. Sistem kekhalifahan, yang dikenal sam­pai masa kekhalifahan Utsmaniyah, ha­nya merupakan salah satu bentuk yang dapat dibenarkan, tetapi bukan satu-satu­nya bentuk baku yang ditetapkan. Oleh sebab itu, jika perkembangan pemikiran manusia atau kebutuhan masyarakat me­nuntut bentuk lain, itu dibenarkan pula oleh Islam, selama nilai-nilai yang di­ama­natkan maupun unsur-unsur perekatnya tidak bertentangan dengan Islam.
Masyarakat Islam Internasional
Setelah mengurai betapa telah meng­guritanya jaringan Yahudi maupun Nas­rani yang menguasai dunia Barat dan mengklaim diri sebagai Masyarakat Inter­nasional dan berhasil menguasai institusi PBB untuk mencapai keinginan memper­budak seluruh masyarakat dunia di se­mua sektor kehidupan, Habib Rizieq Syi­hab, ketua umum FPI, menyatakan, “De­ngan apa yang sudah diuraikan di atas tadi, sudah saatnya umat Islam di seluruh dunia bersatu membangun Masyarakat Islam Internasional sebagai tandingan dari Masyarakat Internasional ala Zionis dan Salibis. Itu bisa diawali dengan mem­fungsikan OKI (Organisasi Konferensi Islam) sebagai embrio khilafah Islam. Du­nia Islam harus mampu menghapus se­mua sekat yang telah memisahkan me­reka selama berabad-abad.”
Sampai di sini, Habib Rizieq kemudi­an menyampaikan sejumlah usulan be­rupa hal-hal konkret yang dapat dilakukan untuk merealisasikan ide khilafah Islam yang mencakup berbagai sektor, seperti po­litik, ekonomi, sosial, budaya, pendidik­an, teknologi, dan sebagainya.
Kemudian, Habib Rizieq melanjutkan, ”Selama ini, upaya perjuangan penegak­an khilafah Islamiyyah dianggap oleh se­bagian kalangan sebagai sesuatu yang utopis. Bahkan cenderung dimusuhi oleh ber­bagai negara Islam sendiri, karena di­anggap sebagai gerakan politik yang akan menumbangkan semua pemerin­tahan di negara-negara Islam. Para pe­mimpin ne­geri Islam memandang para pe­juang khi­lafah Islamiyyah sebagai kom­petitor ke­kuasaan yang mengancam ke­dudukan me­reka, bahkan kedaulatan ne­gara me­reka, sehingga harus disingkir­kan.
Sikap khilafahfobia seperti itu muncul sebagai akibat ketidakmengertian mere­ka tentang hakikat khilafah Islamiyyah. Di samping adanya kelompok umat Islam yang mengkampanyekan sistem khilafah secara vulgar dengan statement peng­hapusan semua pemerintahan negara Islam, peniadaan semua batas wilayah teritorial antar-negara Islam, pelenyapan kedaulatan setiap negara Islam, pembe­rangusan hak-hak kebangsaan semua negeri Islam, hingga penolakan terhadap semua produk budaya lokal negeri Islam se­cara membabi buta. Kelompok ini sa­ngat eksklusif, menafsirkan khilafah Islamiyyah secara hitam-putih. Penuh se­mangat tapi tidak realistis. Penuh energi tapi jalan sendiri. Penuh potensi tapi ter­lalu ambisi.”
Berdasarkan pernyataannya tersebut tampak bahwa spirit di balik seruan khi­lafah Islamiyah yang disuarakan Habib Rizieq adalah terbentuknya masyarakat Islam internasional untuk menyaingi he­ge­moni masyarakat internasional yang dikuasai Yahudi maupun Nasrani. Se­sungguhnya, dengan kata lain, inilah ke­sungguhan Habib Rizieq untuk meng­ga­lang ukhuwah Islamiyah dalam bentuk yang lebih konkret.
Namun demikian, sementara pihak ada yang memandang Habib Rizieq Syi­hab termasuk tokoh yang gencar me­nyuarakan berdirinya khilafah Islamiyah, yang notabene dapat dimaknai memper­masalahkan keabsahan NKRI. Benarkah demikian?
Islam sejak Dulu
Bulan Mei 2011, di kantor ICIS (Inter­national Conference of Islamic Scholars), yang diketuai mantan ketua umum PBNU K.H. A. Hasyim Muzadi, hadir sejumlah jurnalis media asing asal Amerika Seri­kat yang tergabung dalam International Reporting Program, sebuah kegiatan yang melibatkan para jurnalis di AS untuk mendapatkan informasi soal Islam di Indo­nesia secara langsung dari nara­sum­bernya.
Yang menarik, ketika mereka ber­tanya soal negara Islam, Habib Rizieq men­jelaskan, sebelum Indonesia mer­deka, yakni sejak bangsa ini dijajah, lalu merdeka hingga saat ini, Indonesia sudah merupa­kan negara Islam. FPI, sebagai organisasi Islam Ahlusunnah wal Ja­ma’ah (Aswaja), atau Sunni, berpegang pada definisi negara Islam yang berada pada kitab-kitab kuning. Di dalam pema­haman Aswaja disebutkan, setiap negeri yang dikuasai oleh umat Islam, berpen­duduk mayoritas Islam, dipimpin oleh orang Islam, lalu umat Islam dengan be­bas melaksanakan iba­dahnya, dan se­bagian besar syari’atnya bisa dijalankan, itu sudah dikategorikan sebagai negara Islam.
“Jadi bagi FPI, tidak perlu lagi men­dirikan Negara Islam Indonesia, karena negara ini adalah negara Islam yang ber­nama Republik Indonesia, yang berda­sar­kan Pancasila dan UUD 1945, berben­dera Merah Putih, yang sekarang ini di­pimpin oleh Presiden SBY. Terpenting, se­­bagian besar hukum Islam sudah ber­jalan di republik ini, dan itu sudah bisa di­buktikan secara ilmiah,” kata Habib Rizieq, tegas.
Kabarnya, pernyataan Habib Rizieq ter­sebut menyisakan pertanyaan yang menggelayut di hati beberapa aktivis ge­rakan Islam, yang mempertanyakan “Mungkinkah Habib Rizieq telah berubah dalam memandang Islam itu sendiri?”.
Penjelasan atas pernyataan tersebut dijabarkan secara gamblang oleh Habib Rizieq dalam situs resmi FPI, www.fpi.or.id dalam tulisan bertajuk INI, Bukan NII. Berikut petikan dari sebagian pernyataan­nya:
INI, Bukan NII
Bagi gerakan Islam, sebenarnya Indo­nesia secara de jure maupun de facto sejak kemerdekaannya sudah menjadi “negara Islam”, dengan fakta dan data antara lain:
Pertama, pembukaan UUD 1945 ter­tulis  “Atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa”.
Kedua, sesuai Dekrit Presiden Soe­karno 5 Juli 1959 bahwa Pancasila dan UUD 1945 dijiwai Piagam Jakarta, yang berintikan syari’at Islam.
Ketiga, mayoritas penduduk Indone­sia adalah umat Islam.
Keempat, semua presiden dan wakil presiden yang pernah memimpin Indone­sia adalah dari kalangan umat Islam.
Kelima, sebagian besar hukum Islam yang berkaitan dengan perorangan, se­perti shalat, zakat, puasa, dan haji, yang berkaitan dengan rumah tangga, seperti nikah, thalaq, dan warisan, yang berkait­an dengan kehidupan sosial-kemasya­rakatan, seperti pendidikan, perniagaan, dan perbankan, sudah berjalan dengan leluasa di Indonesia. Dakwah Islam pun di Indonesia bebas dan semarak.
Keenam, sebagian lainnya dari hu­kum Islam yang belum berjalan, seperti hu­kum pidana, tidak ada larangan pem­berlakuannya dalam konstitusi Indonesia, sehingga penerapannya tetap bisa diper­juangkan secara konstitusional.
Ketujuh, sebelum penjajah datang, di Indonesia sudah berdiri “kerajaan-kera­jaan Islam”, yang hingga kini masih tetap berdiri di seantero Nusantara walaupun wewenangnya sudah dipangkas habis.
Kedelapan, Indonesia adalah ang­gota Organisasi Konferensi Islam (OKI).
Kesembilan, Barat dan Timur meng­anggap Indonesia sebagai negara Islam.
Kesepuluh, di Istana Negara ada mas­jid. Alhamdulillah.
Karenanya, isu NII tidak boleh mem­buat langkah perjuangan umat Islam ter­henti. Kini, mari kita kampanyekan secara besar-besaran bahwa Indonesia negara Islam (INl), yang harus diisi dengan hu­kum Islam. Caranya, semua hukum Islam yang sudah bisa berjalan, wajib kita ja­lankan sepenuhnya; sedang yang belum bisa berjalan, wajib kita perjuangkan pe­nerapannya. Tiada hari tanpa perjuangan penerapan syari’at Islam.
Ingat, negara kita adalah negara Islam, namanya Republik Indonesia, ben­deranya Merah Putih, dasar negaranya Pancasila dan UUD 1945, presidennya saat ini adalah SBY, hukumnya hukum Islam tapi belum sempurna. Jika kita tidak menyatakan Indonesia sebagai negara Islam, nanti ada kelompok lain yang meng­klaim Indonesia sebagai “negara­nya”.
Demikian cara pandang Habib Rizieq terhadap NKRI, yang secara implisit me­nyemburatkan semangat yang besar un­tuk mengisi hari-hari republik tercinta ini dengan penerapan syari’at Islam.
Hemat kami, inilah kata kuncinya: pe­nerapan syari’at Islam. Diterapkannya syari’at Islam di setiap denyut nadi ke­hidupan penduduk NKRI ini memang se­suatu yang esensial. Mengenai caranya, tentunya para ulama kita memiliki cara yang berbeda-beda sesuai warna dan la­han dakwah mereka masing-masing da­lam mempengaruhi kebijakan negara.
Ke-Bhinneka-an Sudut Pandang
Hampir senada dengan  yang dinyata­­kan Habib Rizieq, Gus Ishom Hadzik (alm.) dalam sa­lah satu tulisannya bertajukFiqh Siyasah dan Budaya Politik NU menuliskan, “Men­jelang Muktamar NU di Banjar­masin, muncul persoalan. Yaitu, bagai­mana sesungguhnya status ke­negaraan Indonesia pasca-kemerde­kaan. Sebab, dengan mengambil Pulau Jawa sebagai basis Indonesia, kekua­saan pemerintah yang dianggap sah me­nurut syari’at Islam dimulai dari Kerajaan Demak, lalu Pajang, dan Mataram Islam, sehingga ketika itu Indonesia layak menyandang status Darul Islam.
Sementara itu, sejak kedatangan pen­jajah Belanda, lalu Inggris, dan di­susul Jepang, kekuasaan pemerintah pen­jajah yang kafir itu tak diakui dan oto­matis status Darul Islam lenyap selama ratusan tahun. Mungkinkah status Darul Islam itu pulih kembali pasca-kemer­dekaan? Ternyata berdasarkan fatwa Mufti Hadhramaut Syaikh Muhammad Sholih Ar Rois dalam suratnya yang di­kirim kepada para kiai NU di Jawa, status Darul Islam tetap melekat pada negara Indonesia dengan merujuk pada kaidah al ashlu baqa’u ma kana ala ma kana, yang berarti, selama tak ada perubahan men­dasar, status yang berlaku sebelum­nya tetap dipertahankan.
Maka, Muktamar NU pun menetap­kannya. Cuma saja, untuk menghargai bangsa Indonesia yang majemuk dan berdasarkan Pancasila, Muktamar NU memutuskan mengubah istilah Darul Islam, yang bermakna negara Islam, men­jadi Darul Salam, yang berkonotasi negara yang damai. Dengan begitu, pe­rasaan terancam dari agama lain dapat dihindarkan. Karena itu, NU menerima asas tunggal Pancasila dan menetapkan negara kesatuan Republik Indonesia sebagai bentuk yang final.”
Di lain sisi, tak dapat dipungkiri, be­tapa keberhasilan pergerakan kemerde­ka­an RI tak lepas dari peran besar umat Islam, yang dimotori oleh para ulama­nya, baik dari kalangan tradisionalis mau­­pun modernis, seperti K.H. M. Natsir. Tokoh besar satu ini mening­gal­kan catatan sejarah yang cukup penting dan tak boleh dilupakan atas jasanya mempersatukan negara-negara boneka buatan pemerintah kolonial Belanda de­ngan mosinya yang terkenal, Mosi Integ­ral Natsir, menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sedemikian fenomenalnya mosi yang dikeluarkan Pak Natsir, demikian panggilan akrab­nya, di kemudian hari mosi itu disebut-sebut sebagai proklamasi kemerdekaan Indonesia yang kedua setelah prok­lamasi 17 Agustus 1945.
Sampai di sini kita dapat memahami mengapa sekian banyak ulama kerap me­nyimpulkan bahwa NKRI adalah pilih­an final dan paling realistis untuk kondisi masyarakat Indonesia, meski dipandang dengan berbagai cara pandang dan pe­nyebutan yang berbeda. Lantaran se­jumlah faktor yang melekat, negara yang secara resmi menempatkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara ini, ada yang menyebutnya sebagai Darul Islam, Darussalam, negara Pancasila, dan sebagainya.
Nyatanya, Pancasila pun sarat de­ngan nilai-nilai agama yang dianut ma­yoritas penduduk negeri ini, yang ter­utama terwujud, dan ini sulit dipungkiri, da­lam sila pertama Pancasila: Ketuhan­an Yang Maha Esa. Sedangkan UUD ’45, sebagaimana disebutkan dalam Dekrit Presiden Soekarno yang disam­pai­kannya pada upacara resmi di Istana Merdeka tanggal 5 Juli 1959, dijiwai oleh Piagam Jakarta, yang di dalamnya ter­muat kata-kata ”dengan kewajiban men­jalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Pemerintahan yang Sah
Alhasil, dari sudut pandang agama, pemerintahan Indonesia adalah pemerin­tahan yang sah. Pan­dangan ini, setidak­nya, didasarkan pada dua alasan:
Pertama, presiden Indonesia dipilih lang­sung oleh rakyat. Menurut Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa an-Nihayah (cet. 2001 hlm. 204), sistem pemilihan lang­sung oleh rakyat sama dengan pengang­katan Sayyidina Ali KW untuk menduduki jabatan khalifah.
Kedua, presiden terpilih Indonesia di­lantik oleh MPR, sebuah gabungan dua lem­baga tinggi, DPR dan DPD, yang da­pat disepadankan dengan ahlu al-halli wa al-‘aqdidalam konsep Al-Mawardi dalam Al-Ahkam as-Sulthaniyyah.
Keabsahan pemerintahan Indonesia bukan hanya dapat dilihat dari sudut sis­tem pemilihan dan mekanisme pelantikan presiden, namun juga bisa dilihat dari ter­penuhinya maqashid syar’iyyah (tujuan syar’i) dari imamah (pemerintahan) Indo­nesia, dalam rangka menjaga kesejah­teraan dan kemashlahatan umum. Ter­kait dengan ini, Imam Ghazali mengung­kapkan dalam Al-Iqtishad fi al-‘Itiqad (cet. 1988 hlm. 147), “Dengan demikian tidak bisa dipungkiri kewajiban mengangkat se­orang pemimpin (presiden) karena mem­punyai manfaat dan menjauhkan mudha­rat di dunia ini.”
Dalam konteks ini, pemerintahan Indo­­nesia telah memenuhi tujuan syar’i di atas dengan adanya institusi pemerin­tahan, kepolisiaan, pengadilan, dan se­bagainya. Alhasil, menurut Ahlussunnah wal Jama’ah, pemerintahan Indonesia ada­­lah pemerintah yang sah. Siapa pun tidak bisa mengingkarinya.
Karena itu, mengkonversi sistem pe­merintahan dengan sistem apa pun, ter­masuk sistem khilafah sentral dengan memusatkan kepemimpinan umat Islam di dunia pada satu pemimpin, adalah ti­dak diperlukan. Apalagi jika konversi sis­tem itu akan menimbulkan mudharat yang lebih besar, seperti timbulnya chaos dalam bidang sosial, politik, ekonomi, dan keamanan. Lantaran timbulnya kevakum­an pemerintahan atau pemerintah yang tidak mendapatkan dukungan rakyat luas, se­hingga membuka peluang perang sau­dara antar-anak bangsa (Al-Ghazali da­lam Al-Iqtishad fi al-I‘Itiqad hlm. 147).
Bagi Al-Ghazali, ketertiban merupa­kan keniscayaan bagi keberlangsungan kehidupan beragama. Dan kestabilan ke­hidupan beragama sangat penting untuk mencapai kesejahteraan dunia-akhirat. Adanya sebuah pemerintahan adalah suatu prasyarat penting bagi berlang­sung­nya hukum-hukum Allah SWT untuk ditegakkan di muka bumi. Tanpa peme­rin­tahan, kehidupan masyarakat tidak dapat diwujudkan dengan baik.
Rumah Bersama
Ketika upaya menegakkan khilafah Islamiyah menjadi tidak realistis, konflik horizontal yang dahsyat saat menuju ke sana sangat mungkin terjadi lebih dulu. Bukan hanya antara umat Islam dan non-muslim, tapi boleh jadi sesama umat Islam sendiri, sebagaimana sejarah te­lah mengajarkan kepada kita semua ih­wal hal itu. Dalam hal ini, ulama pun se­ring memajukan sebuah kaidah, dar’ul mafasid muqaddam ’ala jalbil mashalih, mencegah suatu kerusakan didahulukan dari melakukan suatu kebaikan.
Maka negara apa pun namanya, re­publik, kerajaan, kesultanan, keamiran, adalah boleh selama di sana syari’at te­gak dan aturan Islam berjalan. Peradab­an Islam dan tegaknya syari’at bukan semata-mata dibangun atas satu sistem baku, tetapi dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada. Sebagai gan­ti kekhilafahan, amat baik bila me­nyatukan umat Islam dibangun atas da­sar visi dan misi bersama menghadapi mu­suh-musuh Islam. Maka jalan tengah­nya adalah dengan memperkuat lem­baga-lembaga internasional umat Islam, seperti OKI dan Rabithah Alam Islami, atau organisasi apa pun yang menggam­barkan umat yang bersatu. Bila di dunia sekarang ada Uni Eropa, NATO, dan se­bagainya, negara-negara Islam semesti­nya mempunyai persekutuan serupa yang lebih solid.
Sedangkan, negara yang berdiri ta­hun 1945 ini adalah tanggung jawab umat Islam untuk memajukan, meng­urus, dan memeliharanya. Negara kita adalah rumah kita juga. Umat Islam yang mayoritas di Indonesia amat berhak membangun bangsa ini berdasarkan nilai-nilai yang mereka anut. Negara, sebagaimana halnya rumah, harus di­pelihara, dibangun, dibersihkan, dan me­miliki bekal yang banyak untuk keluarga dan anak-cucu di kemudian hari. Inilah alasan kenapa para ulama kita dulu sangat menyayangi negeri ini.
Mereka yang seagama adalah sau­dara kita, sementara yang tidak segama adalah tetangga kita. Masing-masing mempunyai hak dan kewajiban yang ha­rus diperhatikan bersama. Piagam Ma­dinah menggambarkan ukhuwah Islam­iyah, diniyah, dan wathaniyah yang amat prima, dan Piagam Jakarta pun meng­gambarkan cita-cita Piagam Madinah yang ideal itu, walaupun belum dapat dilaksanakan secara baik sampai saat ini.
Namun, negara madani dengan sis­tem masyarakat sipilnya diharapkan da­pat menggambarkan perilaku masya­rakat Madinah awal. Menjadi tugas kita bersama untuk dapat mewujudkannya. Sebab, ketika itu terwujud, kemakmuran akan dinikmati secara merata oleh se­genap penduduk negeri ini.
Terlepas dari itu semua, lalu bagai­mana seharusnya kita memandang tema khilafah? Semoga tulisan yang berisi mau’izhah Habib Umar Bin Hafidz (Hadhramaut) saat kunjungannya di Indonesia beberapa tahun silam berikut ini dapat menjadi jawaban yang jernih atas pertanyaan itu.
Wallahu a’lam bish shawab.
Share this article :
Comments
0 Comments

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Pengikut

 
Support : NU | Muhammadiyah | Indonesia
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. ISLAM NKRI - All Rights Reserved
Original Design by Creating Website Modified
Trima kasih atas kunjuan anda Kritik, saran, informasi atau artikel dapat dikirimkan kepada kami melalui email: bachtiar.irfan@gmail.com !